Kami selama ini sudah selalu menyatakan secara halus dan rendah hati kepada setiap umat Kristen dan para lawan lainnya, dan kami masih terus menyatakan bahwa perlu kiranya bagi setiap agama yang merasa dirinya benar dan datang dari Tuhan agar masing-masing mengemukakan sosok manusia yang mereka agungkan sebagai junjungan, pembimbing dan Rasul serta membuktikan bahwa Nabi tersebut tetap hidup kekal melalui ajaran keruhaniannya.
Harus dibuktikan bahwa Nabi yang menjadi panutan dan yang diyakini sebagai pemberi syafaat serta juru selamat, haruslah masih tetap hidup melalui berkat keruhaniannya. Ia haruslah sosok yang ditinggikan pada tahta kehormatan dan diagungkan sehingga kecemerlangan wajahnya dan kedudukannya di sisi kanan Allah yang Maha Abadi dan Maha Kuasa menjadi nyata melalui sinaran Nur Ilahi. Manusia yang mencintai dan mematuhi sosok tersebut sewajarnya juga dianugrahi dengan karunia rohul kudus dan berkat samawi serta memperoleh Nur dari Nabinya yang terkasih untuk mengusir kegelapan di zamannya dan memberikan keimanan yang sempurna dan cemerlang terhadap eksistensi Tuhan yang membakar habis keinginan berbuat dosa dan nafsu-nafsu rendah manusia. Semua ini menjadi bukti bahwa Nabi tersebut adalah sosok yang hidup dan berada di surga.
Dengan demikian bagaimana bisa kita cukup bersyukur kepada Allah yang Maha Suci dan Maha Agung yang telah mengaruniakan kepada kita kekuatan untuk mencintai dan mentaati kekasih-Nya Nabi Muhammad s.a.w. dan atas itu lalu memberkati kita dengan rahmat keruhanian dari kecintaan dan ketaatan tersebut, yang menjadi tanda kesalehan dan tanda samawi, membuktikan kepada kita bahwa Nabi kekasih dan yang diagungkan itu tetap hidup dan duduk di sisi kanan Raja-nya yang Maha Perkasa di atas tahta kemulyaan dan keagungan di langit. Ya Allah turunkanlah salam dan rahmat-Mu atas beliau.
• •
Sesungguhnya Allah mengirimkan rahmat-Nya kepada Nabi ini dan para malaikat-Nya mendoakan dia. Hai orang-orang mukmin! Kamu pun harus mengirimkan selawat atas dia, Nabi ini, dan sampaikanlah salam kepadanya dengan doa keselamatan (S.33 Al-Ahzab:57).
Sekarang silahkan siapa yang bisa menunjukkan ada manusia lain yang memiliki kehidupan keruhanian seperti halnya Hadzrat Rasulullah s.a.w. Apakah Nabi Musa a.s. memilikinya? Jelas tidak. Apakah Nabi Daud a.s. ada mempunyainya? Pasti tidak. Apakah Yesus a.s. ada memiliki kehidupan demikian? Jelas tidak. Atau barangkali Raja Ram Chandra atau Raja Krishna? Juga tidak. Apakah para Rishi penganut agama Hindu memilikinya mengingat Kitab mereka menyatakan bahwa ayat-ayat Veda diwahyukan ke dalam hati mereka? Jelas tidak.
Tidak ada gunanya mengagulkan kehidupan jasmaniah karena kehidupan yang sebenarnya adalah keberkatan ruhaniah berupa kehidupan yang selalu mendapat Nur dan kepastian dari Allah yang Maha Kuasa. Bisa mencapai umur jasmaniah panjang bukanlah suatu hal yang patut disombong¬kan. Beberapa monumen bangsa Mesir sudah berusia ribuan tahun dan reruntuhan Babilonia masih ada meski sekarang hanya menjadi sarang burung liar, sedangkan di negeri ini (India) ada kota-kota kuno seperti Ayodhia dan Bindraban, begitu juga dengan berbagai monumen kuno di Italia dan Yunani. Sepanjang eksistensi mereka yang panjang itu apakah monumen-monumen itu ada menerima keagungan dan kemulyaan sebagaimana yang dikaruniakan kepada sosok-sosok suci karena kehidupan keruhanian mereka?
Jelas bahwa bukti dari kehidupan keruhanian demikian hanya bisa ditemui dalam diri Nabi Suci s.a.w. Semoga beribu-ribu rahmat Tuhan menemani beliau. (Tiryaqul Qulub, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 15, hal. 137-139 London, 1984).
* * *
Lebih dari tiga ribu mukjizat yang diperlihatkan oleh junjungan dan penghulu kita Hadzrat Rasulullah s.a.w. dan nubuatan beliau pun tidak terhitung banyaknya, namun tidak perlu rasanya bagi kita untuk mengemukakan mukijizat-mukjizat yang terjadi di masa lalu itu. Salah satu mukjizat akbar dari Nabi Suci s.a.w. ialah sudah diputusnya wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi lain dan semua mukjizat mereka hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu dimana pengikut mereka sekarang ini hanya berhampa tangan dan cuma bisa bertumpu pada dongeng-dongeng kuno. Adapun wahyu yang diturunkan kepada Nabi Suci s.a.w. tidak pernah diputus sebagaimana halnya dengan mukjizat-mukjizat beliau, dimana semuanya tetap diperlihatkan melalui para pengikut sempurna yang mendapat kehormatan untuk menjadi pengikut beliau. Karena itulah maka Islam merupakan agama yang hidup dan Tuhan-nya adalah Tuhan yang Maha Hidup.
Di zaman ini pun ada aku sebagai hamba dari Junjungan kita yang Mulia. Beribu-ribu tanda yang mendukung Rasulullah s.a.w. dan Kitabullah telah diperlihatkan kepadaku dan aku hampir setiap hari mendapat kehormatan untuk bercakap-cakap dengan Allah yang Maha Kuasa. (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 350-351, London, 1984).
* * *
Ketika seseorang sampai pada suatu tahapan bisa bertemu dengan Tuhan, terkadang yang bersangkutan melakukan suatu tindakan yang terlihat berada di luar kemampuan manusia biasa dan diwarnai oleh kekuatan Ilahi. Sebagai contoh pada waktu perang Badar, Hadzrat Rasulullah s.a.w. melemparkan segenggam batu kerikil kepada musuh yang dihadapi tanpa mengucapkan doa apa pun melainkan semata-mata atas dasar kekuatan ruhani beliau yang ternyata secara luar biasa kerikil-kerikil tersebut telah mengenai mata para lawan sehingga mereka semua menjadi tidak bisa melihat dan menjadikan mereka bingung berlari berputar-putar tak berdaya. Mukjizat ini diungkapkan dalam ayat:
“Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. (S.8 Al-Anfal:18)
yang berarti bahwa ada kekuatan Ilahi yang bekerja dalam peristiwa tersebut sehingga terjadi sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia biasa.
Begitu pula dengan mukjizat lain dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan pembelahan bulan yang merupakan penampakan kekuasaan Ilahi. Kejadian itu tidak didahului oleh doa dan terjadi seketika ketika beliau menunjukkan jari beliau kepada bulan. Masih banyak lagi mukjizat lain yang dilakukan Hadzrat Rasulullah s.a.w. atas kekuatan diri beliau yang tidak didahului dengan doa. Beberapa kali terjadi beliau telah menggandakan persediaan air minum hanya cukup dengan mencelupkan jari beliau ke dalam bejana air dan seluruh kafilah berikut unta dan kuda-kuda bisa minum sedangkan sisa airnya sama sekali tidak berkurang. Pada banyak kesempatan beliau hanya meletakkan tangan beliau pada tiga atau empat potong roti dan dari sana bisa memuaskan lapar ribuan orang. Dalam beberapa kejadian beliau hanya menyentuhkan bibir beliau pada sepasu kecil susu dan sekelompok orang lain bisa dipuaskan meminumnya. Pernah pula beberapa kali beliau meludahi kolam air yang terasa payau dan menjadikannya terasa manis. Banyak kejadian beliau menyembuhkan luka parah beberapa orang dengan hanya meletakkan tangan beliau di atas luka. Pernah pula beliau mengembalikan bola mata orang-orang yang terpukul keluar dalam pertempuran dan menyembuhkan mereka kembali dengan tangan beliau. Dengan cara demikian beliau melakukan banyak hal atas dasar kekuatan pribadi beliau sendiri yang dilambari dengan kekuatan Ilahi.
Jika kaum Brahmo Samaj, para filosof dan penganut aliran alam sekarang ini menyangkal menerima mukjizat-mukjizat tersebut, mereka bolehlah dimaaf¬kan karena mereka tidak mampu memahami makam atau kedudukan dari manusia yang dikaruniai kekuatan Ilahi melalui refleksi. Kalau mereka mener-tawakan hal ini maka mereka juga patut dimaafkan karena mereka belum bisa meninggalkan kondisi kekanak-kanakan mereka dan belum berhasil mencapai kedewasaan ruhaniah. Kondisi mereka jauh dari sempurna dan mereka cukup bahagia jika pun mereka kemudian mati dalam keadaan demikian.
Hanya saja kita patut mengasihani umat Kristen yang hanya karena mendengar beberapa mukjizat Yesus a.s. dari kelas derajat yang lebih rendah lalu mengemukakannya sebagai argumentasi untuk mendukung pandangan mereka tentang ketuhanan Yesus. Mereka menyatakan bahwa Yesus dalam menghidupkan seorang yang sudah mati, menyembuhkan penderita lepra dan orang yang lumpuh adalah semata-mata atas dasar kekuatan dirinya sendiri dan bukan karena melalui doa, karena itu menjadi bukti bahwa ia adalah benar anak Tuhan atau bahkan Tuhan sendiri. Sayang sekali jalan pikiran mereka yang tidak menyadari bahwa jika seorang manusia bisa menjadi Tuhan dengan melakukan hal-hal seperti itu maka sebenarnya junjungan dan penghulu kita, Hadzrat Rasulullah s.a.w. lebih berhak lagi atas status ketuhanan karena beliau jauh lebih banyak memperlihatkan mukjizat dibanding Yesus a.s.
Tidak saja Hadzrat Rasulullah s.a.w. melaksanakan perbuatan-perbuatan luar biasa demikian oleh diri beliau sendiri, bahkan beliau mewariskan sederetan panjang mukjizat-mukjizat di antara para pengikut beliau sampai dengan Hari Pengisaban nanti dimana kejadian-kejadian demikian berlangsung di tiap masa dan akan berlangsung sampai dengan akhir dunia. Kesan dari kekuatan Ilahi yang dialami para jiwa suci di antara umat Islam sulit dicari padanan¬nya pada umat lain. Jadi jelas betapa konyolnya mengimani seseorang sebagai Tuhan atau putra Tuhan hanya atas dasar peristiwa-peristiwa seperti itu. Kalau saja manusia bisa menjadi tuhan karena menghasilkan perbuatan luar biasa demikian maka tidak akan ada habisnya jumlah tuhan yang ada. (Ayena Kamalati Islam, Qadian, Riyadh Hind Press, 1893; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 5, hal. 65-67, London, 1984).
* * *
Kami ingin mengemukakan bahwa mukjizat pembelahan bulan oleh Hadzrat Rasulullah s.a.w. bukanlah suatu kejadian yang diajukan sebagai bukti oleh umat Islam sebagai bukti kebenaran ajaran Islam atau sebagai argumentasi pokok untuk mendukung kebenaran Kitab Suci Al-Qur’an. Dari ribuan tanda-tanda dan mukjizat internal dan eksternal, peristiwa di atas adalah tanda alamiah yang didukung oleh bukti sejarah. Misalnya pun kita mengabaikan bukti-bukti nyata dan menyatakan mukjizat ini tidak pernah terjadi, dan kita menafsirkan ayat-ayat yang relevan dalam Al-Qur’an sebagai pandangan umat Kristen atau para penganut aliran naturalis atau pun penafsiran dari mereka yang menolak kejadian-kejadian eksternal, tetap saja semuanya tidak akan merugikan bagi Islam. Menjadi suatu kenyataan bahwa adanya Firman Allah berupa Al-Qur’an telah membebaskan umat Islam dari kebutuhan untuk bertumpu pada mukjizat-mukjizat lainnya. Al-Qur’an tidak saja menjadi mukjizat dalam wujudnya sendiri tetapi juga karena Nur dan berkat yang dibawa Al-Qur’an nyata memperlihatkan mukjizat.
Kitab Suci Al-Qur’an mengandung sifat-sifat yang demikian sempurna dalam dirinya sehingga tidak diperlukan mukjizat luar biasa lainnya. Keberadaan mukjizat eksternal tidak akan menambah sesuatu nilai pada Al-Qur’an dan ketiadaannya tidak akan merugikan baginya. Keindahan daripada Al-Qur’an adalah karena tidak dihiasi berbagai ornamen mukjizat-mukjizat eksternal. Dalam wujudnya sendiri Al-Qur’an mengandung beribu-ribu mukjizat ajaib dan indah yang dapat disaksikan oleh manusia dari segala masa. Kita tidak perlu hanya merujuk ke masa lalu. Al-Qur’an itu demikian indahnya sehingga segala sesuatu menarik ornamentasi hiasan daripadanya sedangkan Al-Qur’an sendiri tidak tergantung kepada apa pun untuk ornamentasi wujudnya sendiri.
Ornamen menghiasi segala kecantikan di dunia,
Namun engkau demikian cantik sehingga kau perindah ornamen itu sendiri.
Mereka yang menentang mukjizat pembelahan bulan hanya memiliki satu sarana argumentasi saja yang menyatakan bahwa peristiwa itu bertentangan dengan hukum alam. Para penganut hukum alam berpandangan bahwa sepanjang manusia menggunakan logikanya maka ia tidak akan menemukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam atau apa yang bisa dipahami manusia adalah sama dengan hukum alam. Dengan kata lain, melalui observasi atas alam ini menunjukkan bahwa segala hal yang bersifat material atau non-material yang mengelilingi kita merupakan bagian dari suatu sistem indah yang mengarah kepada kelanjutan eksistensinya. Sistem ini merupakan suatu yang inheren di dalam segala hal dan tidak pernah terpisah dari apa pun. Apa pun yang direncanakan oleh alam akan selalu terjadi dengan cara yang sama.
Kami mengakui semua hal itu, namun apakah hal itu membuktikan bahwa cara-cara Ilahi serta hukum-hukum yang mengaturnya harus terbatas hanya pada hasil observasi dan pengalaman manusia saja? Meyakini bahwa Kekuatan Ilahi itu bersifat tidak terbatas merupakan inti daripada sistem Ilahiah dan hal itu memastikan bahwa pintu kemajuan intelektual akan selalu terbuka. Karena itu adalah suatu kekeliruan untuk mengemukakan bahwa apa pun yang berada di luar kemampuan pemahaman atau observasi kita lalu dianggap sebagai suatu yang bertentangan dengan hukum alam. Jika kita mengakui bahwa hukum alam bersifat tanpa batas dan tanpa akhir maka mestinya sikap kita tidak selalu menolak segala hal baru hanya karena berada di luar kemampuan pemahaman kita. Kita perlu menganalisis masalahnya berdasar¬kan bukti-bukti yang ada atau yang tidak ada. Kalau terbukti benar maka sewajarnya kita memasukkannya sebagai bagian dari hukum alam dan jika tidak terbukti maka kita cukup mengatakan bahwa belum terbukti. Jangan lalu mengatakan bahwa hal itu berada di luar lingkup hukum alam. Guna menyatakan bahwa ada sesuatu yang berada di luar lingkup hukum alam, perlu bagi kita menguasai keseluruhan hukum samawi dan bahwa kemampuan intelek kita memang telah memahami keseluruhan konsep Kekuatan Tuhan yang telah diungkapkan sejak awal alam tercipta sampai dengan saat ini dan yang masih akan diungkapkan Tuhan nanti sepanjang keabadian.
Kami meyakini bahwa Kekuatan dari Allah s.w.t. bersifat tidak terbatas, karena itu merupakan suatu kegilaan jika kita mengharapkan bisa memahami keseluruhan Kekuasaan-Nya. Jika kekuasaan tersebut bisa diwadahi dalam sampai pengamatan kita, lalu bagaimana menyatakannya sebagai suatu yang tidak terbatas dan tanpa akhir? Dalam keadaan demikian kita tidak saja akan menghadapi kesulitan bahwa pengalaman kita yang terbatas dan tidak sempurna ini dianggap bisa memahami keseluruhan kekuasaan dari Tuhan yang Maha Abadi, tetapi juga akan muncul kesulitan yang lebih besar karena dengan memberikan batasan atas kemampuan Wujud-Nya akan menimbulkan pengertian bahwa Dia sendiri juga bersifat terbatas. Sepertinya kita telah mengacu dan mendalami keseluruhan realitas Tuhan yang Maha Agung. Asumsi seperti itu akan menghancurkan keimanan yang berakhir dengan pengingkaran terhadap Tuhan. (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 2, hal. 60-65, London, 1984).
* * *
Aku ingin bertanya bahwa jika Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang menyatakan bahwa beliau telah membelah bulan dengan cara menunjuknya dengan jari beliau dimana para orang kafir telah menyaksikannya walaupun mereka menganggapnya sebagai sihir belaka, bahwa pernyataan beliau itu dusta, lalu mengapa para lawan beliau menutup mulut dan mengapa mereka tidak menggugat Nabi Suci s.a.w. bahwa tidak benar beliau telah membelah bulan? Ditambah lagi mereka tidak ada mengatakan bahwa kejadian itu sihir semata tetapi tidak juga menyangkal bahwa hal tersebut telah terjadi. Mengapa mereka berdiam diri dan tetap tutup mulut sampai mereka itu kemudian meninggalkan dunia ini? Apakah sikap tutup mulut mereka yang sebenarnya tidak konsisten dengan sikap perlawanan mereka serta hasrat mereka untuk selalu mempertanyakan segala hal, menunjukkan bahwa mereka terhalang bicara karena adanya rintangan yang besar? Apa yang bisa menghalangi mereka kecuali bahwa kejadian tersebut memang benar-benar terjadi?
Mukjizat ini terjadi di Mekah ketika keadaan umat Islam masih dalam keadaan sangat lemah dan tidak berdaya. Adalah suatu hal yang mengheran¬kan bahwa anak-anak atau cucu dari para lawan Hadzrat Rasulullah s.a.w. pada waktu itu juga tidak ada mengutarakan sesuatu yang membantah perihal kejadian tersebut, karena kalau misalnya pernyataan Hadzrat Rasulullah dusta adanya tetapi mendapat publisitas sangat luas, tentunya mereka telah menulis atau mengungkap¬kannya sebagai suatu kedustaan. Jika umat Islam tetap meyakini hal ini secara terbuka di hadapan ribuan orang dan yang buktinya ada tercantum dalam naskah-naskah dari masa itu sedangkan ratusan ribu umat Kristen, bangsa Arab, bangsa Yahudi dan umat Magi13 tidak ada yang berani menyangkalnya maka jelaslah bahwa mereka para lawan tersebut memang benar ada menyaksikan pembelahan bulan.
Kami ingin menambahkan bahwa kejadian pembelahan bulan tersebut ada tercatat dalam naskah-naskah kuno bangsa Hindu. Beas Ji14 mencatat dalam Mahabharata bahwa pada masanya bulan pernah terbelah dua dan kemudian menyatu lagi. Ia mengemukakan hal ini sebagai mukjizat dari Biswamtar walau tanpa menjelaskan buktinya. Rupanya kejadian terbelahnya bulan ini cukup dikenal di antara umat Hindu, bahkan pada masa penulisan sejarah Farishta dimana si pengarang dalam diskursus yang ke sebelas menyatakan bahwa Raja dari Dharka yang terletak dekat sungai Phanbal di Malwa (sekarang mungkin bernama Dhara Nagri) sedang duduk di atas teras atap istananya ketika menyaksikan bulan terbelah dua untuk kemudian menyatu lagi. Berdasarkan hasil penelitiannya, raja itu menemukan bahwa hal tersebut merupakan mukjizat dari Nabi bangsa Arab dan karena itu ia lalu menjadi Muslim.
(Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 2, hal. 122-127, London, 1984).
* * *
Mukjizat dan tanda-tanda yang dikaruniakan Allah s.w.t. kepada junjungan dan penghulu kita Hadzrat Rasulullah s.a.w. tidak dibatasi hanya untuk selama masa kehidupan beliau saja tetapi tetap akan berlanjut terus sampai dengan Hari Penghisaban nanti. Pada masa sebelumnya tidak ada Nabi yang mendapat karunia demikian meskipun yang bersangkutan datang dari pengikut Nabi terdahulu dan telah ia bantu dalam penyiaran ajarannya, sedangkan kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. telah diberikan karunia khusus ini karena beliau adalah Khatamal Anbiya. Sebagai Khatamal Anbiya maka beliau, pertama, telah mencapai puncak dari kemuliaan Kenabian dan kedua, karena setelah beliau tidak ada lagi Nabi pembawa syariat baru, tidak juga seorang Nabi yang bukan dari pengikut beliau. Siapa pun yang mendapat kehormatan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan, bisa mencapai derajat itu melalui berkat dan syafaat beliau, dikenal sebagai pengikut beliau dan bukan menjadi Nabi yang bersifat langsung. Derajat beliau demikian tinggi sehingga sekarang ini ada sekitar 200 juta manusia yang merupakan umat Islam dan tegak di hadapan beliau sebagai hambanya. Raja-raja akbar yang menaklukkan bagian-bagian dari dunia telah bersimpuh di kaki beliau sebagaimana laiknya seorang hamba sahaya dan menerimakan turun dari tahta mereka jika disebut nama beliau.
Karena itu pertimbangkanlah, apakah keagungan atau kemuliaan ini, beserta beribu-ribu tanda samawi dan berkat Ilahi bisa dikaruniakan kepada seorang pendusta? Kami berbangga hati bahwa Hadzrat Rasulullah s.a.w. kepada siapa kami telah melekatkan diri, dikaruniai demikian banyak rahmat agung oleh Allah s.w.t. Beliau itu jelas bukanlah Tuhan namun melalui beliau kita bisa mengenal Tuhan. Agama beliau yang turun kepada kita merupakan cerminan dari Kekuasaan Ilahi. Kalau bukan karena agama Islam, sulit bagi manusia di masa ini untuk memahami apa itu Kenabian dan apakah mukjizat-mukjizat masih mungkin terjadi serta apakah mukjizat itu hanya merupakan bagian dari hukum alam. Teka-teki ini telah dipecahkan melalui rahmat abadi dari Nabi yang mulia tersebut dan karena berkat beliau itulah maka kita sekarang ini tidak terbatas hanya menjadi pendongeng kisah-kisah kuno sebagaimana halnya umat lain, melainkan bisa menikmati bantuan dari Nur Ilahi dan pertolongan samawi. Tidak akan pernah cukup besar syukur yang bisa kita panjatkan kepada Allah s.w.t. dimana melalui Nabi Suci-Nya ini kita telah mengenal Tuhan yang Maha Mulia yang tersembunyi bagi umat lain. (artikel dilekatkan pada Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 380-381, London, 1984).
* * *
Harus dibuktikan bahwa Nabi yang menjadi panutan dan yang diyakini sebagai pemberi syafaat serta juru selamat, haruslah masih tetap hidup melalui berkat keruhaniannya. Ia haruslah sosok yang ditinggikan pada tahta kehormatan dan diagungkan sehingga kecemerlangan wajahnya dan kedudukannya di sisi kanan Allah yang Maha Abadi dan Maha Kuasa menjadi nyata melalui sinaran Nur Ilahi. Manusia yang mencintai dan mematuhi sosok tersebut sewajarnya juga dianugrahi dengan karunia rohul kudus dan berkat samawi serta memperoleh Nur dari Nabinya yang terkasih untuk mengusir kegelapan di zamannya dan memberikan keimanan yang sempurna dan cemerlang terhadap eksistensi Tuhan yang membakar habis keinginan berbuat dosa dan nafsu-nafsu rendah manusia. Semua ini menjadi bukti bahwa Nabi tersebut adalah sosok yang hidup dan berada di surga.
Dengan demikian bagaimana bisa kita cukup bersyukur kepada Allah yang Maha Suci dan Maha Agung yang telah mengaruniakan kepada kita kekuatan untuk mencintai dan mentaati kekasih-Nya Nabi Muhammad s.a.w. dan atas itu lalu memberkati kita dengan rahmat keruhanian dari kecintaan dan ketaatan tersebut, yang menjadi tanda kesalehan dan tanda samawi, membuktikan kepada kita bahwa Nabi kekasih dan yang diagungkan itu tetap hidup dan duduk di sisi kanan Raja-nya yang Maha Perkasa di atas tahta kemulyaan dan keagungan di langit. Ya Allah turunkanlah salam dan rahmat-Mu atas beliau.
• •
Sesungguhnya Allah mengirimkan rahmat-Nya kepada Nabi ini dan para malaikat-Nya mendoakan dia. Hai orang-orang mukmin! Kamu pun harus mengirimkan selawat atas dia, Nabi ini, dan sampaikanlah salam kepadanya dengan doa keselamatan (S.33 Al-Ahzab:57).
Sekarang silahkan siapa yang bisa menunjukkan ada manusia lain yang memiliki kehidupan keruhanian seperti halnya Hadzrat Rasulullah s.a.w. Apakah Nabi Musa a.s. memilikinya? Jelas tidak. Apakah Nabi Daud a.s. ada mempunyainya? Pasti tidak. Apakah Yesus a.s. ada memiliki kehidupan demikian? Jelas tidak. Atau barangkali Raja Ram Chandra atau Raja Krishna? Juga tidak. Apakah para Rishi penganut agama Hindu memilikinya mengingat Kitab mereka menyatakan bahwa ayat-ayat Veda diwahyukan ke dalam hati mereka? Jelas tidak.
Tidak ada gunanya mengagulkan kehidupan jasmaniah karena kehidupan yang sebenarnya adalah keberkatan ruhaniah berupa kehidupan yang selalu mendapat Nur dan kepastian dari Allah yang Maha Kuasa. Bisa mencapai umur jasmaniah panjang bukanlah suatu hal yang patut disombong¬kan. Beberapa monumen bangsa Mesir sudah berusia ribuan tahun dan reruntuhan Babilonia masih ada meski sekarang hanya menjadi sarang burung liar, sedangkan di negeri ini (India) ada kota-kota kuno seperti Ayodhia dan Bindraban, begitu juga dengan berbagai monumen kuno di Italia dan Yunani. Sepanjang eksistensi mereka yang panjang itu apakah monumen-monumen itu ada menerima keagungan dan kemulyaan sebagaimana yang dikaruniakan kepada sosok-sosok suci karena kehidupan keruhanian mereka?
Jelas bahwa bukti dari kehidupan keruhanian demikian hanya bisa ditemui dalam diri Nabi Suci s.a.w. Semoga beribu-ribu rahmat Tuhan menemani beliau. (Tiryaqul Qulub, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 15, hal. 137-139 London, 1984).
* * *
Lebih dari tiga ribu mukjizat yang diperlihatkan oleh junjungan dan penghulu kita Hadzrat Rasulullah s.a.w. dan nubuatan beliau pun tidak terhitung banyaknya, namun tidak perlu rasanya bagi kita untuk mengemukakan mukijizat-mukjizat yang terjadi di masa lalu itu. Salah satu mukjizat akbar dari Nabi Suci s.a.w. ialah sudah diputusnya wahyu yang diturunkan kepada Nabi-nabi lain dan semua mukjizat mereka hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu dimana pengikut mereka sekarang ini hanya berhampa tangan dan cuma bisa bertumpu pada dongeng-dongeng kuno. Adapun wahyu yang diturunkan kepada Nabi Suci s.a.w. tidak pernah diputus sebagaimana halnya dengan mukjizat-mukjizat beliau, dimana semuanya tetap diperlihatkan melalui para pengikut sempurna yang mendapat kehormatan untuk menjadi pengikut beliau. Karena itulah maka Islam merupakan agama yang hidup dan Tuhan-nya adalah Tuhan yang Maha Hidup.
Di zaman ini pun ada aku sebagai hamba dari Junjungan kita yang Mulia. Beribu-ribu tanda yang mendukung Rasulullah s.a.w. dan Kitabullah telah diperlihatkan kepadaku dan aku hampir setiap hari mendapat kehormatan untuk bercakap-cakap dengan Allah yang Maha Kuasa. (Chasmai Masihi, Qadian Magazine Press, 1906; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 20, hal. 350-351, London, 1984).
* * *
Ketika seseorang sampai pada suatu tahapan bisa bertemu dengan Tuhan, terkadang yang bersangkutan melakukan suatu tindakan yang terlihat berada di luar kemampuan manusia biasa dan diwarnai oleh kekuatan Ilahi. Sebagai contoh pada waktu perang Badar, Hadzrat Rasulullah s.a.w. melemparkan segenggam batu kerikil kepada musuh yang dihadapi tanpa mengucapkan doa apa pun melainkan semata-mata atas dasar kekuatan ruhani beliau yang ternyata secara luar biasa kerikil-kerikil tersebut telah mengenai mata para lawan sehingga mereka semua menjadi tidak bisa melihat dan menjadikan mereka bingung berlari berputar-putar tak berdaya. Mukjizat ini diungkapkan dalam ayat:
“Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. (S.8 Al-Anfal:18)
yang berarti bahwa ada kekuatan Ilahi yang bekerja dalam peristiwa tersebut sehingga terjadi sesuatu yang berada di luar kemampuan manusia biasa.
Begitu pula dengan mukjizat lain dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan pembelahan bulan yang merupakan penampakan kekuasaan Ilahi. Kejadian itu tidak didahului oleh doa dan terjadi seketika ketika beliau menunjukkan jari beliau kepada bulan. Masih banyak lagi mukjizat lain yang dilakukan Hadzrat Rasulullah s.a.w. atas kekuatan diri beliau yang tidak didahului dengan doa. Beberapa kali terjadi beliau telah menggandakan persediaan air minum hanya cukup dengan mencelupkan jari beliau ke dalam bejana air dan seluruh kafilah berikut unta dan kuda-kuda bisa minum sedangkan sisa airnya sama sekali tidak berkurang. Pada banyak kesempatan beliau hanya meletakkan tangan beliau pada tiga atau empat potong roti dan dari sana bisa memuaskan lapar ribuan orang. Dalam beberapa kejadian beliau hanya menyentuhkan bibir beliau pada sepasu kecil susu dan sekelompok orang lain bisa dipuaskan meminumnya. Pernah pula beberapa kali beliau meludahi kolam air yang terasa payau dan menjadikannya terasa manis. Banyak kejadian beliau menyembuhkan luka parah beberapa orang dengan hanya meletakkan tangan beliau di atas luka. Pernah pula beliau mengembalikan bola mata orang-orang yang terpukul keluar dalam pertempuran dan menyembuhkan mereka kembali dengan tangan beliau. Dengan cara demikian beliau melakukan banyak hal atas dasar kekuatan pribadi beliau sendiri yang dilambari dengan kekuatan Ilahi.
Jika kaum Brahmo Samaj, para filosof dan penganut aliran alam sekarang ini menyangkal menerima mukjizat-mukjizat tersebut, mereka bolehlah dimaaf¬kan karena mereka tidak mampu memahami makam atau kedudukan dari manusia yang dikaruniai kekuatan Ilahi melalui refleksi. Kalau mereka mener-tawakan hal ini maka mereka juga patut dimaafkan karena mereka belum bisa meninggalkan kondisi kekanak-kanakan mereka dan belum berhasil mencapai kedewasaan ruhaniah. Kondisi mereka jauh dari sempurna dan mereka cukup bahagia jika pun mereka kemudian mati dalam keadaan demikian.
Hanya saja kita patut mengasihani umat Kristen yang hanya karena mendengar beberapa mukjizat Yesus a.s. dari kelas derajat yang lebih rendah lalu mengemukakannya sebagai argumentasi untuk mendukung pandangan mereka tentang ketuhanan Yesus. Mereka menyatakan bahwa Yesus dalam menghidupkan seorang yang sudah mati, menyembuhkan penderita lepra dan orang yang lumpuh adalah semata-mata atas dasar kekuatan dirinya sendiri dan bukan karena melalui doa, karena itu menjadi bukti bahwa ia adalah benar anak Tuhan atau bahkan Tuhan sendiri. Sayang sekali jalan pikiran mereka yang tidak menyadari bahwa jika seorang manusia bisa menjadi Tuhan dengan melakukan hal-hal seperti itu maka sebenarnya junjungan dan penghulu kita, Hadzrat Rasulullah s.a.w. lebih berhak lagi atas status ketuhanan karena beliau jauh lebih banyak memperlihatkan mukjizat dibanding Yesus a.s.
Tidak saja Hadzrat Rasulullah s.a.w. melaksanakan perbuatan-perbuatan luar biasa demikian oleh diri beliau sendiri, bahkan beliau mewariskan sederetan panjang mukjizat-mukjizat di antara para pengikut beliau sampai dengan Hari Pengisaban nanti dimana kejadian-kejadian demikian berlangsung di tiap masa dan akan berlangsung sampai dengan akhir dunia. Kesan dari kekuatan Ilahi yang dialami para jiwa suci di antara umat Islam sulit dicari padanan¬nya pada umat lain. Jadi jelas betapa konyolnya mengimani seseorang sebagai Tuhan atau putra Tuhan hanya atas dasar peristiwa-peristiwa seperti itu. Kalau saja manusia bisa menjadi tuhan karena menghasilkan perbuatan luar biasa demikian maka tidak akan ada habisnya jumlah tuhan yang ada. (Ayena Kamalati Islam, Qadian, Riyadh Hind Press, 1893; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 5, hal. 65-67, London, 1984).
* * *
Kami ingin mengemukakan bahwa mukjizat pembelahan bulan oleh Hadzrat Rasulullah s.a.w. bukanlah suatu kejadian yang diajukan sebagai bukti oleh umat Islam sebagai bukti kebenaran ajaran Islam atau sebagai argumentasi pokok untuk mendukung kebenaran Kitab Suci Al-Qur’an. Dari ribuan tanda-tanda dan mukjizat internal dan eksternal, peristiwa di atas adalah tanda alamiah yang didukung oleh bukti sejarah. Misalnya pun kita mengabaikan bukti-bukti nyata dan menyatakan mukjizat ini tidak pernah terjadi, dan kita menafsirkan ayat-ayat yang relevan dalam Al-Qur’an sebagai pandangan umat Kristen atau para penganut aliran naturalis atau pun penafsiran dari mereka yang menolak kejadian-kejadian eksternal, tetap saja semuanya tidak akan merugikan bagi Islam. Menjadi suatu kenyataan bahwa adanya Firman Allah berupa Al-Qur’an telah membebaskan umat Islam dari kebutuhan untuk bertumpu pada mukjizat-mukjizat lainnya. Al-Qur’an tidak saja menjadi mukjizat dalam wujudnya sendiri tetapi juga karena Nur dan berkat yang dibawa Al-Qur’an nyata memperlihatkan mukjizat.
Kitab Suci Al-Qur’an mengandung sifat-sifat yang demikian sempurna dalam dirinya sehingga tidak diperlukan mukjizat luar biasa lainnya. Keberadaan mukjizat eksternal tidak akan menambah sesuatu nilai pada Al-Qur’an dan ketiadaannya tidak akan merugikan baginya. Keindahan daripada Al-Qur’an adalah karena tidak dihiasi berbagai ornamen mukjizat-mukjizat eksternal. Dalam wujudnya sendiri Al-Qur’an mengandung beribu-ribu mukjizat ajaib dan indah yang dapat disaksikan oleh manusia dari segala masa. Kita tidak perlu hanya merujuk ke masa lalu. Al-Qur’an itu demikian indahnya sehingga segala sesuatu menarik ornamentasi hiasan daripadanya sedangkan Al-Qur’an sendiri tidak tergantung kepada apa pun untuk ornamentasi wujudnya sendiri.
Ornamen menghiasi segala kecantikan di dunia,
Namun engkau demikian cantik sehingga kau perindah ornamen itu sendiri.
Mereka yang menentang mukjizat pembelahan bulan hanya memiliki satu sarana argumentasi saja yang menyatakan bahwa peristiwa itu bertentangan dengan hukum alam. Para penganut hukum alam berpandangan bahwa sepanjang manusia menggunakan logikanya maka ia tidak akan menemukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum alam atau apa yang bisa dipahami manusia adalah sama dengan hukum alam. Dengan kata lain, melalui observasi atas alam ini menunjukkan bahwa segala hal yang bersifat material atau non-material yang mengelilingi kita merupakan bagian dari suatu sistem indah yang mengarah kepada kelanjutan eksistensinya. Sistem ini merupakan suatu yang inheren di dalam segala hal dan tidak pernah terpisah dari apa pun. Apa pun yang direncanakan oleh alam akan selalu terjadi dengan cara yang sama.
Kami mengakui semua hal itu, namun apakah hal itu membuktikan bahwa cara-cara Ilahi serta hukum-hukum yang mengaturnya harus terbatas hanya pada hasil observasi dan pengalaman manusia saja? Meyakini bahwa Kekuatan Ilahi itu bersifat tidak terbatas merupakan inti daripada sistem Ilahiah dan hal itu memastikan bahwa pintu kemajuan intelektual akan selalu terbuka. Karena itu adalah suatu kekeliruan untuk mengemukakan bahwa apa pun yang berada di luar kemampuan pemahaman atau observasi kita lalu dianggap sebagai suatu yang bertentangan dengan hukum alam. Jika kita mengakui bahwa hukum alam bersifat tanpa batas dan tanpa akhir maka mestinya sikap kita tidak selalu menolak segala hal baru hanya karena berada di luar kemampuan pemahaman kita. Kita perlu menganalisis masalahnya berdasar¬kan bukti-bukti yang ada atau yang tidak ada. Kalau terbukti benar maka sewajarnya kita memasukkannya sebagai bagian dari hukum alam dan jika tidak terbukti maka kita cukup mengatakan bahwa belum terbukti. Jangan lalu mengatakan bahwa hal itu berada di luar lingkup hukum alam. Guna menyatakan bahwa ada sesuatu yang berada di luar lingkup hukum alam, perlu bagi kita menguasai keseluruhan hukum samawi dan bahwa kemampuan intelek kita memang telah memahami keseluruhan konsep Kekuatan Tuhan yang telah diungkapkan sejak awal alam tercipta sampai dengan saat ini dan yang masih akan diungkapkan Tuhan nanti sepanjang keabadian.
Kami meyakini bahwa Kekuatan dari Allah s.w.t. bersifat tidak terbatas, karena itu merupakan suatu kegilaan jika kita mengharapkan bisa memahami keseluruhan Kekuasaan-Nya. Jika kekuasaan tersebut bisa diwadahi dalam sampai pengamatan kita, lalu bagaimana menyatakannya sebagai suatu yang tidak terbatas dan tanpa akhir? Dalam keadaan demikian kita tidak saja akan menghadapi kesulitan bahwa pengalaman kita yang terbatas dan tidak sempurna ini dianggap bisa memahami keseluruhan kekuasaan dari Tuhan yang Maha Abadi, tetapi juga akan muncul kesulitan yang lebih besar karena dengan memberikan batasan atas kemampuan Wujud-Nya akan menimbulkan pengertian bahwa Dia sendiri juga bersifat terbatas. Sepertinya kita telah mengacu dan mendalami keseluruhan realitas Tuhan yang Maha Agung. Asumsi seperti itu akan menghancurkan keimanan yang berakhir dengan pengingkaran terhadap Tuhan. (Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 2, hal. 60-65, London, 1984).
* * *
Aku ingin bertanya bahwa jika Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang menyatakan bahwa beliau telah membelah bulan dengan cara menunjuknya dengan jari beliau dimana para orang kafir telah menyaksikannya walaupun mereka menganggapnya sebagai sihir belaka, bahwa pernyataan beliau itu dusta, lalu mengapa para lawan beliau menutup mulut dan mengapa mereka tidak menggugat Nabi Suci s.a.w. bahwa tidak benar beliau telah membelah bulan? Ditambah lagi mereka tidak ada mengatakan bahwa kejadian itu sihir semata tetapi tidak juga menyangkal bahwa hal tersebut telah terjadi. Mengapa mereka berdiam diri dan tetap tutup mulut sampai mereka itu kemudian meninggalkan dunia ini? Apakah sikap tutup mulut mereka yang sebenarnya tidak konsisten dengan sikap perlawanan mereka serta hasrat mereka untuk selalu mempertanyakan segala hal, menunjukkan bahwa mereka terhalang bicara karena adanya rintangan yang besar? Apa yang bisa menghalangi mereka kecuali bahwa kejadian tersebut memang benar-benar terjadi?
Mukjizat ini terjadi di Mekah ketika keadaan umat Islam masih dalam keadaan sangat lemah dan tidak berdaya. Adalah suatu hal yang mengheran¬kan bahwa anak-anak atau cucu dari para lawan Hadzrat Rasulullah s.a.w. pada waktu itu juga tidak ada mengutarakan sesuatu yang membantah perihal kejadian tersebut, karena kalau misalnya pernyataan Hadzrat Rasulullah dusta adanya tetapi mendapat publisitas sangat luas, tentunya mereka telah menulis atau mengungkap¬kannya sebagai suatu kedustaan. Jika umat Islam tetap meyakini hal ini secara terbuka di hadapan ribuan orang dan yang buktinya ada tercantum dalam naskah-naskah dari masa itu sedangkan ratusan ribu umat Kristen, bangsa Arab, bangsa Yahudi dan umat Magi13 tidak ada yang berani menyangkalnya maka jelaslah bahwa mereka para lawan tersebut memang benar ada menyaksikan pembelahan bulan.
Kami ingin menambahkan bahwa kejadian pembelahan bulan tersebut ada tercatat dalam naskah-naskah kuno bangsa Hindu. Beas Ji14 mencatat dalam Mahabharata bahwa pada masanya bulan pernah terbelah dua dan kemudian menyatu lagi. Ia mengemukakan hal ini sebagai mukjizat dari Biswamtar walau tanpa menjelaskan buktinya. Rupanya kejadian terbelahnya bulan ini cukup dikenal di antara umat Hindu, bahkan pada masa penulisan sejarah Farishta dimana si pengarang dalam diskursus yang ke sebelas menyatakan bahwa Raja dari Dharka yang terletak dekat sungai Phanbal di Malwa (sekarang mungkin bernama Dhara Nagri) sedang duduk di atas teras atap istananya ketika menyaksikan bulan terbelah dua untuk kemudian menyatu lagi. Berdasarkan hasil penelitiannya, raja itu menemukan bahwa hal tersebut merupakan mukjizat dari Nabi bangsa Arab dan karena itu ia lalu menjadi Muslim.
(Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 2, hal. 122-127, London, 1984).
* * *
Mukjizat dan tanda-tanda yang dikaruniakan Allah s.w.t. kepada junjungan dan penghulu kita Hadzrat Rasulullah s.a.w. tidak dibatasi hanya untuk selama masa kehidupan beliau saja tetapi tetap akan berlanjut terus sampai dengan Hari Penghisaban nanti. Pada masa sebelumnya tidak ada Nabi yang mendapat karunia demikian meskipun yang bersangkutan datang dari pengikut Nabi terdahulu dan telah ia bantu dalam penyiaran ajarannya, sedangkan kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. telah diberikan karunia khusus ini karena beliau adalah Khatamal Anbiya. Sebagai Khatamal Anbiya maka beliau, pertama, telah mencapai puncak dari kemuliaan Kenabian dan kedua, karena setelah beliau tidak ada lagi Nabi pembawa syariat baru, tidak juga seorang Nabi yang bukan dari pengikut beliau. Siapa pun yang mendapat kehormatan untuk bercakap-cakap dengan Tuhan, bisa mencapai derajat itu melalui berkat dan syafaat beliau, dikenal sebagai pengikut beliau dan bukan menjadi Nabi yang bersifat langsung. Derajat beliau demikian tinggi sehingga sekarang ini ada sekitar 200 juta manusia yang merupakan umat Islam dan tegak di hadapan beliau sebagai hambanya. Raja-raja akbar yang menaklukkan bagian-bagian dari dunia telah bersimpuh di kaki beliau sebagaimana laiknya seorang hamba sahaya dan menerimakan turun dari tahta mereka jika disebut nama beliau.
Karena itu pertimbangkanlah, apakah keagungan atau kemuliaan ini, beserta beribu-ribu tanda samawi dan berkat Ilahi bisa dikaruniakan kepada seorang pendusta? Kami berbangga hati bahwa Hadzrat Rasulullah s.a.w. kepada siapa kami telah melekatkan diri, dikaruniai demikian banyak rahmat agung oleh Allah s.w.t. Beliau itu jelas bukanlah Tuhan namun melalui beliau kita bisa mengenal Tuhan. Agama beliau yang turun kepada kita merupakan cerminan dari Kekuasaan Ilahi. Kalau bukan karena agama Islam, sulit bagi manusia di masa ini untuk memahami apa itu Kenabian dan apakah mukjizat-mukjizat masih mungkin terjadi serta apakah mukjizat itu hanya merupakan bagian dari hukum alam. Teka-teki ini telah dipecahkan melalui rahmat abadi dari Nabi yang mulia tersebut dan karena berkat beliau itulah maka kita sekarang ini tidak terbatas hanya menjadi pendongeng kisah-kisah kuno sebagaimana halnya umat lain, melainkan bisa menikmati bantuan dari Nur Ilahi dan pertolongan samawi. Tidak akan pernah cukup besar syukur yang bisa kita panjatkan kepada Allah s.w.t. dimana melalui Nabi Suci-Nya ini kita telah mengenal Tuhan yang Maha Mulia yang tersembunyi bagi umat lain. (artikel dilekatkan pada Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 380-381, London, 1984).
* * *