Iklan

Allah SWT tidak akan menciptakan Tuhan lain mirip wujud-Nya karena sifat Ke-Esaan dan sifat tidak ada yang menyamai-Nya yang bersifat kekal mencegah-Nya melakukan hal demikian. Namun Dia ada menciptakan contoh dari sifat Tanpa Tandingan itu dengan menciptakan salah seorang makhluk-Nya sebagai refleksi dari sifat-sifat-Nya yang dalam realitas hanya menjadi milik-Nya semata. Ada sebuah indikasi mengenai hal ini di Al-Qur’an dalam ayat:

“Inilah Rasul-rasul yang telah Kami lebihkan setengahnya dari yang lain, di antara mereka ada yang Allah bercakap-cakap dengan mereka dan setengahnya Dia hanya tinggikan derajatnya .....(S.2 Al-Baqarah: 254).

Disini yang dimaksud dengan yang dilebihkan derajatnya adalah Hadzrat Rasulullah s.a.w. kepada siapa telah dikaruniakan derajat tertinggi yang merupakan refleksi dari sifat-sifat Ilahi dan beliau menjadi cermin yang memantulkan Allah s.w.t. Dengan cara demikian telah dimanifestasikan secara sempurna kekhalifahan Ilahi untuk mana tidak saja telah diciptakan umat manusia tetapi juga keseluruhan alam. Hal ini merupakan masalah yang pelik dan para lawan kita yang tidak memahami masalah ini serta tidak mengenal rahasia-rahasia Tuhan, biasanya lalu bertanya-tanya bagaimana mungkin dari sekian juta manusia hanya satu saja yang dapat mencapai derajat khalifah Ilahi yang paling sempurna yang merupakan refleksi daripada Ketuhanan itu sendiri.
Bukanlah disini tempatnya untuk membahas secara rinci masalah ini, namun perlu dijelaskan agar menjadi terang bagi para pencari kebenaran, bahwa semua itu merupakan kaidah Ilahi yang sejalan dengan sifat Ketauhidan-Nya karena sifat Tunggal-Nya dalam penciptaan maka Dia juga memperhatikan ketunggalan. Jika kita renungi apa yang telah diciptakan-Nya secara mendalam, kita akan melihat bahwa keseluruhan ciptaan itu teratur sedemikian rupa sehingga merupakan sebuah garis lurus dimana ujung yang satu mencuat naik ke atas sedangkan ujung lainnya terbenam ke bawah. Pada ujung tertinggi adalah seorang manusia yang dalam kapasitas kemanusiaannya berada di atas seluruh umat manusia, sedangkan pada ujung yang paling rendah adalah para jiwa yang memiliki kapasitas yang demikian defektif sehingga mendekati derajat hewan yang tidak berperasaan.

Kalau kita meninjau alam material secara keseluruhan, kita akan melihat juga fenomena ini. Allah s.w.t. telah menyempurnakan ciptaan-Nya dengan memulai dari zarah paling kecil sampai kepada benda langit yang terbesar yaitu matahari. Dalam sistem material ini tidak diragukan bahwa Allah s.w.t. telah mencipta-kan matahari sebagai suatu benda yang akbar, berberkat dan bermanfaat dimana tidak ada benda lain yang menyamainya di tingkat paling tinggi. Dengan memperhatikan derajat yang tertinggi dan terendah dari sistem demikian yang secara kasat mata bisa diperhatikan, kita bisa memahami bahwa sistem keruhanian pun yang berasal dari Wujud-Nya, ternyata disusun dalam cara yang sama. Sistem keruhanian ini pun memiliki titik tertinggi dan terendahnya. Kinerja Allah s.w.t. dengan demikian selalu sama dan seimbang. Dia itu Maha Tunggal dan dalam manifestasi kinerja-Nya, Dia pun menyukai ketunggalan. Tidak ada tempat bagi kerancuan dan perpecahan. Betapa indah dan pantasnya Dia dalam metoda-Nya sehingga semua hasil kinerja-Nya mengikuti suatu sistem yang baku dan dipadankan satu dengan yang lain.
Dengan menemukan bukti di segenap penjuru dan setelah kami telaah sendiri, kami mengakui kadiah-Nya bahwa semua hasil kinerja-Nya, baik secara keruhanian maupun material, tidak baur dan rancu melainkan mengikuti suatu sistem yang bijak dan merupakan bagian dari suatu pengaturan yang dimulai dari titik terendah bergerak ke arah yang tertinggi, dimana metoda seragam ini disukai oleh Wujud-Nya. Dengan mengakui hal ini maka kami harus mengakui bahwa sebagaimana dalam sistem material yang dimulai dari sebutir zarah atau partikel, Tuhan telah membawa ciptaan-Nya sampai kepada bentuk yang akbar yaitu matahari yang mengandung kesempurnaan yang kasat mata, begitu juga kiranya dalam hal yang berkaitan dengan matahari keruhanian yang terletak di titik tertinggi dari garis lurus keruhanian.
Sekarang untuk meneliti siapakah manusia sempurna yang diandaikan sebagai matahari keruhanian tersebut, bukanlah suatu hal yang bisa dipecahkan semata-mata hanya berdasar logika saja. Dengan mengecualikan Allah s.w.t. yang memiliki kelebihan kemampuan dalam menyeimbangkan dan mengatur bermilyar-milyar makhluk-Nya serta membanding-bandingkan kemampuan spiritual dan sifatnya masing-masing untuk menetapkan siapa yang paling akbar dari antara sekalian makhluk tersebut, bagi manusia mustahil melakukannya berdasar penalaran belaka.

Untuk penelitian seperti itu, sarana yang paling tepat adalah Kitab-kitab yang diwahyukan dimana Allah s.w.t. beribu tahun sebelumnya telah menetapkan spesifikasi dari manusia sempurna tersebut. Seseorang yang hatinya dibimbing Allah s.w.t. dan yang meyakini wahyu dan merenungi nubuatan yang terdapat dalam Kitab Injil, tentunya akan mengakui bahwa yang dimaksud sebagai manusia sempurna yang menjadi matahari keruhanian, yang memenuhi persyaratan paling utama dan menjadi batu bata terakhir pada dinding kenabian adalah Hadzrat Muhammad s.a.w. Keluhuran derajat dari personifikasi kebaikan yang berada di titik tertinggi dari garis keruhanian yaitu Hadzrat Muhammad s.a.w. ditetapkan melalui takdir Ilahi dan hal ini diperlihatkan secara nyata dalam manifestasinya. Sebagaimana yang dikemukakan Tuhan menyangkut derajat tinggi dari Nabi akbar ini bahwa:

“Inilah Rasul-rasul yang telah Kami lebihkan setengahnya dari yang lain”. (S.2 Al-Baqarah: 254).
Melalui pujian demikian dimaksudkan bahwa titik tertinggi dari garis keruhanian dikaruniakan kepada Nabi Suci Muhammad s.a.w. baik secara terbuka mau pun tersembunyi. Wujud lemah lembut yang menjadi personifikasi dari sifat kebaikan ini adalah lebih luhur dan lebih sempurna dibanding ketiga jenis orang-orang yang menjadi kekasih Allah s.w.t. dan disebut sebagai manifestasi sempurna dari sifat Ketuhanan.
Tiga bentuk kedekatan Ilahi digambarkan melalui tiga kemiripan yang jika kita telaah akan menjelaskan realitas tiga derajat kedekatan tersebut. Bentuk pertama dari kedekatan Ilahi digambarkan sebagai kemiripan hubungan di antara hamba dengan majikannya seperti firman Tuhan bahwa:

“Orang-orang yang beriman lebih kuat kecintaan mereka kepada Allah”. (S.2 Al-Baqarah:166).

Berarti bahwa mereka yang beriman, atau dengan kata lain hamba yang setia, mencintai Allah s.w.t. di atas segala-galanya. Sebagai hamba yang tulus dan setia dengan menyaksikan karunia dan berkat yang berkesinambungan serta mengenal sifat-sifat majikannya, perasaan kasih dan ketulusannya akan meningkat sedemikian rupa sehingga ia meniru segala sifat baik dan mengikuti jalan majikannya. Karena kasihnya di dalam hati, ia semata-mata hanya ingin memenuhi semua yang menjadi keinginan majikannya, begitu jugalah sikap dari seorang hamba yang setia kepada Allah yang Maha Kuasa. Hamba tersebut yang melalui perkembangan sifat ketulusan dan kesetiaannya akan sampai kepada suatu tahapan dimana dirinya sendiri menjadi fana dan ia memperoleh warna dari Majikan-Nya tersebut.
Bentuk kedua dari kedekatan kepada Tuhan adalah mirip dengan hubungan di antara bapak dan anak sebagaimana firman Allah s.w.t.:

“Berzikirlah kepada Allah sebagaimana kamu biasa menyanjung bapak-bapak kamu dahulu atau berzikirlah lebih banyak lagi”. (S.2 Al-Baqarah:201).
Ayat ini mengandung arti bahwa kita harus mengingat Allah yang Maha Agung dengan kekhusukan kasih sebagaimana kita mengingat bapak-bapak kita. Perlu diperhatikan bahwa seorang majikan akan mulai menyerupai seorang bapak ketika kecintaan kepadanya menjadi demikian mendalam dan kecintaan itu sendiri kalis dari kepentingan diri sendiri. Pada saat demikian kecenderungan kasih dan rasa pertautan dengan yang dikasihi telah menjadi suatu yang alamiah dan memang sewajarnya bagi fitrat seseorang serta telah menjadi suatu kesatuan yang tidak lagi memerlukan suatu upaya secara sengaja. Sebagaimana seorang putra yang merasa ada hubungan keruhanian dengan bapaknya, begitu jugalah seorang muminin menganggap hubungannya dengan Tuhan. Sebagaimana seorang putra menunjukkan sifat-sifat bapaknya dan menyerupainya dalam perilaku dan kebiasaan, begitu pula seorang muminin.

Bentuk kedekatan yang ketiga adalah mirip dengan refleksi diri yang bersangkutan. Ketika seseorang melihat refleksi dirinya dalam sebuah cermin yang besar dan jernih, ia akan melihat refleksi dari keseluruhan diri dan sifat-sifatnya secara utuh. Begitu pula dalam kedekatan jenis yang ketiga ini, semua sifat-sifat Ilahi direfleksikan secara jelas dalam dirinya dan refleksi ini sifatnya lebih lengkap dan sempurna dibanding kemiripan-kemiripan tersebut di atas. Jelas kiranya bahwa seseorang yang melihat refleksi dirinya dalam sebuah cermin akan melihatnya persis sama dengan dirinya sendiri. Derajat kemiripan demikian tidak akan dapat diperoleh siapa pun melalui sarana apa pun, tidak juga bisa ditemukan dalam sosok seorang putra. Derajat kedekatan demikian hanya bisa dicapai seseorang yang berada seimbang di antara kedua ujung busur Ilahi dan pengkhidmatan atau perhambaan manusia. Ia sedemikian terikat kepada keduanya sehingga ia menjadi tali busur itu sendiri dan jika ia menarik diri dari keduanya maka ia menjadi sebuah cermin.
Cermin itu karena menghadap kepada dua arah, melalui refleksi memperoleh impresi Ilahi dari satu arah dan ke arah lainnya cermin itu akan melantunkan Nur dari semua berkat yang bisa diterima oleh umat manusia yang menyerapnya berdasar kemampuan kadar dirinya masing-masing. Hal ini diindikasikan dalam firman Tuhan bahwa

“Kemudian ia mendekati Allah, lalu turun mendekati umat manusia. Maka jadilah ia seakan-akan seutas tali dua busur atau lebih dekat lagi”. (S.53 An-Najm:9-10).
Yang dimaksud adalah kondisi dimana beliau miraj ke atas hingga suatu titik terdekat kepada Allah s.w.t. sehingga antara diri beliau dengan Tuhan tidak lagi ada tabir yang menghalangi, untuk kemudian beliau turun kepada umat manusia sehingga juga tidak ada tabir di antara diri beliau dengan mereka. Karena kesempurnaan beliau dalam miraj dan dalam turunnya tersebut maka makam beliau itu seperti tali yang menghubungkan Ilahiah dan perhambaan manusia lebih dekat daripada yang bisa dibayangkan. Kedua garis busur itu jika digambarkan adalah sebagai berikut:

Garis yang membagi sama sebuah lingkaran adalah tali di antara dua ujung busur. Garis ini menghubungkan sang Maha Penyayang dan yang menerima anugrah dan garis ini mirip titik tengah lingkaran yang juga menjadi titik tengah tali busur tersebut. Titik inilah yang menjadi inti kalbu dari manusia sempurna yang terkait sama kepada ujung busur Ilahiah dan kepada ujung busur perhambaan manusia. Meskipun di tali yang menghubungkan kedua ujung busur itu memang ada titik-titik lain, kecuali khusus yang berkaitan dengan titik tengah tadi, titik-titik lainnya bisa menjadi posisi dari Nabi-nabi dan Rasul-rasul lainnya.
Titik tengah tersebut mencerminkan kesempurnaan fitrat luhur yang dimiliki penghulu dari tali busur itu yang tidak bisa dipadani oleh orang lain dalam pengertiannya yang murni, melainkan hanya bisa menjadi seseorang yang berbagi refleksi karena mengikuti dan kepatuhan kepada beliau. Nama dari titik tengah ini senyatanya adalah Hadzrat Muhammad s.a.w. yang menjadi sumber dari segala kebenaran di muka bumi ini. Sesungguhnya garis dari tali busur tersebut telah mengembang dari titik tengah ini dimana spiritualitasnya merasuk ke seluruh tali busur, sehingga berkat suci telah dikaruniakan atas keseluruhan tali busur ini. Manifestasi pertama dan paling luhur sebagaimana dikemukakan para Sufi sebagai asma (nama-nama) Allah adalah titik tengah ini, yang dalam istilah para hamba Allah disebut sebagai makam dari Ahmad Mujtaba dan Muhammad Mustafa, sedangkan dalam istilah para filosof disebut sebagai logika primer4. Titik tengah ini memiliki hubungan yang sama dengan titik-titik lainnya di tali busur sebagaimana sifat Akbar dari Allah s.w.t. berkaitan dengan sifat-sifat Ilahi lainnya. Singkat kata, cermin yang merefleksikan manusia sempurna sebagai sumber dari segala kebenaran yang tersembunyi serta kunci bagi semua kepastian adalah juga menjadi logika primer dari semua mistri awal dan akhir serta “sangkan paran”. (logika yang mendasari) penciptaan titik tinggi dan titik rendah. Sulit untuk memvisuali-sasikannya karena semua berada di luar kemampuan nalar dan pemahaman.
Sebagaimana semua kehidupan di alam menerima karunia dari sifat Kehidupan dari Allah yang Maha Kuasa, dan semua makhluk menjadi eksis karena Wujud-Nya serta semua maksud adalah sebagai akibat dari Maksud-Nya, begitu jugalah dengan makam Muhammad s.a.w. dengan karunia Allah s.w.t., telah mempengaruhi semua tingkatan dan derajat tergantung dari fitrat dan kapasitas masing-masing. Karena titik makam ini menggabung semua derajat Ilahi melalui refleksi serta semua derajat di dalam alam ini, maka begitu juga karena merupakan cerminan Ilahiah, makam tersebut mencermin¬kan derajat Ilahi sebagaimana sebuah refleksi di cermin mirip dengan aslinya yang merupakan sifat-sifat dasar Ilahi dimana fitrat kehidupan, pengetahuan, kemauan, kekuatan, pendengaran, penglihatan dan kemampuan berbicara tercermin di sana secara lengkap dan sempurna.
Titik tengah yang berada di antara Tuhan dengan ciptaan-Nya yang menjadi makam dari penghulu kita Hadzrat Muhammad s.a.w. tidak bisa dibatasi hanya kepada firman Allah saja sebagaimana julukan5 yang diberikan kepada Yesus a.s. Makam Muhammadi menggabungkan dalam wujudnya refleksi dari semua derajat Ilahi. Karena itulah mengapa Yesus a.s. telah diserupakan sebagai putra karena adanya kekurangan pada sifat diri beliau mengingat sosok Yesus a.s. tidak menjadi manifestasi dari sifat-sifat Ilahi dan hanya mencerminkan satu cabang dari berbagai cabang yang ada. Sebaliknya dengan realitas dari Hadzrat Muhammad yang menjadi manifestasi lengkap dan sempurna dari semua sifat Ilahi. Karena pertimbangan inilah maka Nabi Suci s.a.w. dalam Kitab-kitab samawi ditamsilkan sebagai refleksi daripada Tuhan yang Maha Agung yang mengatasi status seorang bapak terhadap anak. Kekurang-sempurnaan ajaran Yesus a.s. dibanding kesempurnaan ajaran Al-Qur’an adalah juga karena masalah ini mengingat rahmat yang kurang sempurna akan dikaruniakan kepada sosok yang juga kurang sempurna, sedangkan rahmat yang sempurna hanya dikaruniakan kepada sosok yang sempurna pula.
Mengenai sifat kemiripan Hadzrat Muhammad s.a.w. kepada Allah s.w.t. dikemukakan dalam Al-Qur’an pada ayat:

“Kemudian ia mendekati Allah, lalu turun mendekati umat manusia. Maka jadilah ia seakan-akan seutas tali dua busur atau lebih dekat lagi”. (S.53 An-Najm:9-10).

Yang dimaksud dalam hal ini adalah dimana Nabi Suci s.a.w. karena kedekatan beliau kepada Allah s.w.t. adalah seperti seutas tali yang menghubungkan kedua ujung busur atau bahkan lebih dekat lagi. Jelas yang dimaksud bahwa titik tertinggi dari tali busur itu adalah ujung busur Ilahiah dimana ketika keseluruhan kalbu Hadzrat Muhammad yang karena demikian dekat dan jernih hubungan beliau telah miraj ke atas mendekati samudra Ilahiah dimana beliau tenggelam dalam samudra tidak bertepi itu sehingga seluruh partikel manusiawinya lebur dalam samudra tersebut. Kedekatan demikian bukanlah suatu hal yang baru melainkan merupakan suatu hal yang telah ditetapkan jauh sebelumnya dan patut disampaikan melalui Kitab-kitab samawi dan wahyu-wahyu yang dituliskan, sebagai manifestasi Ilahiah yang sempurna dan sebagai cermin yang merefleksikan Tuhan itu sendiri. Ayat lain dalam Al-Qur’an yang menggambarkan kedekatan tersebut adalah:

“Sesungguhnya orang-orang yang baiat kepada engkau sebenarnya mereka baiat kepada Allah. Tangan Allah ada di atas tangan mereka”. (S.48 Al-Fath:11).
Orang-orang yang mengikrarkan baiat kepada Nabi Suci s.a.w. melakukannya dengan cara meletakkan tangan mereka di atas tangan beliau. Dalam ayat ini secara metaforika Tuhan menyamakan Nabi Suci s.a.w. sebagai perwakilan Tuhan sendiri dan mengutarakan tangan beliau sebagai tangan-Nya.
Pernyataan ini digunakan berkaitan dengan Hadzrat Rasulullah s.a.w. karena kedekatan beliau yang amat sangat kepada Tuhan. Hal ini juga diindikasikan dalam ayat:

“Bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, melainkan Allah yang melempar”. (S.8 Al-Anfal:18).
Indikasi yang sama juga dikemukakan dalam ayat:

“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang telah berdosa terhadap jiwa mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni segala dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang”“. (S.39 Az-Zumar:54).
Yang jelas bahwa umat manusia bukanlah hamba-hamba daripada Nabi Suci s.a.w., bahkan semua Nabi dan yang bukan Nabi adalah hamba daripada Allah s.w.t., namun karena Nabi Suci s.a.w. adalah yang terdekat kepada Allah maka istilah ini digunakan dalam kasus beliau. Dengan cara yang sama Allah yang Maha Agung telah memberikan gelar-gelar atas Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang sebenarnya merupakan sifat-sifat Ilahi. Nabi Suci diberi nama Muhammad yang berarti yang amat terpuji. Kenyataannya pujian akbar itu milik Allah yang Maha Kuasa, tetapi dikaruniakan kepada Hadzrat Rasulullah s.a.w. sebagai cerminan. Dengan cara yang sama Nabi Suci s.a.w. dalam Al-Qur’an telah diberi gelar Nur yang mencerahkan seluruh dunia, Rahmat yang memelihara alam dari kerusakan, serta Pengasih dan Penyayang yang merupakan nama-nama dari Allah s.w.t. Di banyak tempat dalam Al-Qur’an ada diindikasikan atau dinyatakan secara jelas bahwa Nabi Suci s.a.w. adalah manifestasi sempurna daripada sifat-sifat Ilahi dan ucapan beliau adalah firman Tuhan, sedangkan kedatangan beliau sebagai kedatangan Tuhan.
Dalam konteks ini salah satu ayat Al-Qur’an berbunyi:

“Katakanlah: “Kebenaran telah datang dan kebatilan telah lenyap. Sesungguhnya kebatilan itu pasti akan lenyap”“. (S.17 Bani Israil:82).

Dalam ayat ini yang dimaksud dengan Kebenaran adalah Allah yang Maha Agung, Kitab Suci Al-Qur’an dan Nabi Suci s.a.w., sedangkan yang dimaksud dengan kebatilan adalah Syaitan, kelompok pengikut syaitan dan ajaran-ajaran syaitan. Dalam hal ini Allah yang Maha Kuasa telah menyertakan Nabi Suci s.a.w. beserta Nama-Nya sendiri dan kedatangan Rasulullah s.a.w. dianggap sebagai kedatangan Allah s.w.t. dimana dengan kedatangan agung demikian maka Syaitan dengan segala asykarnya telah dikalahkan dan ajarannya direndahkan. Karena kemiripan yang sempurna demikian maka Al-Qur’an mengungkapkan bahwa Tuhan telah mengambil perjanjian dari semua Nabi-nabi terdahulu bahwa wajib bagi mereka untuk mengimani kebesaran dan keagungan Hadzrat Rasulullah s.a.w. dan memberitahukannya kepada umat mereka. Atas dasar pertimbangan inilah maka sejak Nabi Adam a.s. sampai dengan Nabi Isa a.s. semua Nabi-nabi dan Rasul-rasul mengakui kebesaran dan keagungan Hadzrat Rasulullah s.a.w. Nabi Musa a.s. menyatakan bahwa Tuhan datang dari gunung Sinai, bangkit dari Seir dan bersinar dari gunung Paran6, mengindikasikan secara jelas bahwa manifestasi dari Keagungan Ilahi mencapai kulminasinya di Paran dan bahwa matahari kebenaran bersinar penuh dengan segala keagungannya di gunung Paran. Kitab Taurat mengungkapkan bahwa yang dimaksud Paran adalah daerah pegunungan Mekah dimana Ismail a.s. yang menjadi nenek moyang Hadzrat Rasulullah s.a.w. bertempat tinggal7. Hal ini dikonfirmasikan oleh peta geografis. Bahkan para lawan kita juga mengakui bahwa tidak ada Nabi lain yang telah dibangkitkan di Mekah kecuali Hadzrat Rasulullah s.a.w. Karena itu bayangkan betapa jelasnya Musa a.s. bersaksi bahwa matahari kebenaran akan bersinar dari gunung Paran dengan memancarkan sinarnya yang teramat terang dan bahwa kemajuan Nur kebenaran akan mencapai puncaknya dalam wujud beliau yang berberkat itu.
Inti sari dari keseluruhan ini adalah untuk menunjukkan bahwa derajat kedekatan kepada Allah s.w.t. itu ada tiga macam dan yang ketiga itu menggambarkan manifestasi sempurna dari sifat-sifat Ilahiah yang merupakan cermin yang merefleksikan Tuhan dan semua itu terkait kepada penghulu dan junjungan kita Muhammad s.a.w. yang Nurnya telah mencerah¬kan beribu-ribu batin serta membersihkan tidak terbilang kalbu manusia dari kegelapan dan menuntun mereka kepada Nur yang abadi.
Seorang penyair mengemukakannya sebagai:
Muhammad dari Arab, Raja dua dunia,
dengan perbatasan yang dijaga Rohul Kudus.
Aku tak kan menyebutnya Tuhan, namun
mengenali wujudnya adalah mengenal Tuhan.
Alangkah beruntungnya manusia yang beriman kepada Hadzrat Muhammad s.a.w. dan menerima beliau sebagai penghulu serta Kitab Al-Qur’an sebagai petunjuknya. Ya Allah, berkatilah penghulu dan junjungan kami Muhammad beserta segenap pengikutnya dan para sahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah yang telah menuntun hati kita kepada kekasih-Nya, kepada kasih terhadap Rasul-Nya dan kasih kepada hamba-hamba-Nya.
Ketika sinar rembulan mengerling hati kami,
Hati kami yang gelap merona jadi perak cemerlang.


Setiap saat rahmat menyatu Kekasih-ku selalu mengundang,
Meski mereka yang menentang menghadang jalan.

Siang dan malam aku bersimpuh bagai debu di jalan Kekasih-ku,
Tanda apa lagi yang mengisyaratkan kehormatan dan rezeki terhormat.
(Surma Chasm Arya, Qadian, 1886; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 2, hal. 232-301, London, 1984).
* * *
Kitab Suci Al-Qur’an telah menjelaskan hal ini dalam alegori yang cantik yang berbunyi:

“Allah adalah Nur seluruh langit dan bumi. Perumpamaan Nur-Nya adalah seperti sebuah relung yang di dalamnya ada suatu pelita. Pelita itu ada dalam suatu semprong kaca. Semprong kaca itu seperti bintang yang gemerlapan. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati ialah pohon zaitun yang bukan di timur dan bukan di barat, yang minyaknya hampir-hampir bercahaya walaupun api tidak menyentuh¬nya. Nur di atas Nur. Allah memberi bimbingan menuju Nur-Nya kepada barangsiapa yang Dia kehendaki. Dan Allah mengemukakan tamsil-tamsil untuk manusia dan Allah mengetahui segala sesuatu”. (S.24 An-Nur:36).

Dengan demikian berarti bahwa Allah itu adalah Nur dari langit dan bumi, dengan pengertian bahwa setiap Nur yang mewujud dalam keluhurannya maupun kedalamannya, baik dalam ruhani atau pun jasmani, apakah milik pribadi atau hasil perolehan, baik yang tersembunyi mau pun yang terbuka, apakah bersifat internal atau pun eksternal, semuanya merupakan karunia dari rahmat-Nya. Semua itu menjadi indikasi bahwa rahmat umum dari Tuhan seru sekalian alam mencakup keseluruhan dan tidak ada satu pun yang dikecualikan sebagai penerima berkat karunia-Nya. Dia adalah sumber segala berkat dan kausa primer dari semua Nur dan sumber mata air dari segala rahmat. Wujud-Nya adalah penopang dari keseluruhan alam dan menjadi tempat berlindung bagi semua makhluk baik yang berderajat tinggi mau pun yang rendah. Dia telah membawa semuanya keluar dari kegelapan ketiadaan dan menganugerahkan kepadanya jubah eksistensi. Tidak ada lagi wujud lain yang eksis dengan sendirinya dan bersifat abadi, atau bukan penerima rahmat-Nya. Bumi, langit, manusia, hewan, batu-batuan, pepohonan, ruhani dan jasmani, semuanya memperoleh eksistensi dari rahmat-Nya.

Yang dikemukakan dalam ayat tersebut adalah untuk menunjukkan bahwa semua itu merupakan rahmat yang bersifat umum. Rahmat ini mencakup keseluruhan sebagaimana laiknya dalam suatu lingkaran. Untuk menjadi penerima dari rahmat ini tidak diperlukan persyaratan apa pun. Dibandingkan dengan sifat rahmat ini ada rahmat yang bersifat khusus yang memiliki persyaratan dan hanya dikaruniakan kepada pribadi-pribadi yang memang memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menerimanya. Yang dimaksud adalah manusia-manusia sempurna seperti para Nabi, dimana Nabi yang terbaik dan paling luhur adalah Hadzrat Muhammad s.a.w. Karena rahmat ini merupakan kebenaran yang haqiqi maka Allah s.w.t. setelah mengemukakan tentang rahmat yang bersifat umum, lalu mengungkapkan tentang rahmat yang bersifat khusus dengan tujuan guna menegaskan Nur dari Nabi Suci s.a.w. dalam sebuah alegori agar lebih mudah dicerna. Nur tersebut diuraikan sebagai: “Perumpamaan Nur-Nya adalah seperti sebuah relung”. dimana yang dimaksud adalah relung dada Nabi Suci s.a.w. Dalam relung ini ada sebuah pelita yang berarti wahyu Ilahi. Pelita itu ada dalam sebuah semprong kaca yang jernih seperti bintang gemerlapan, yang berarti hati Hadzrat Rasulullah s.a.w. yang suci dan bersih yang karena fitratnya bersih dari segala kekotoran dan kesuraman, seumpama cermin yang bening yang hanya berhubungan dengan Allah s.w.t. saja. Cermin tersebut cemerlang seperti bintang gemerlapan yang bersinar di langit dengan segala keagungannya, yang berarti bahwa hati Hadzrat Rasulullah s.a.w. itu demikian jernih dan beningnya sehingga Nur internalnya mencuat ke permukaan luar dan mengalir seperti air. Pelita itu dinyalakan dengan minyak dari sebatang pohon kayu yang diberkati yaitu pohon zaitun. Hal ini mengandung arti bahwa wujud Nabi Suci s.a.w. merupakan gabungan dari berbagai ragam rahmat dan berkat dimana semuanya tidak terkungkung pada suatu masa atau tempat atau pun jurusan bahkan akan mengalir terus secara abadi dan tidak akan pernah dihentikan. Pohon yang diberkati tersebut bukan berasal dari timur atau pun barat, mengandung arti bahwa fitrat Hadzrat Rasulullah s.a.w. tidak ada kelebihan atau pun kekurangan, melainkan diciptakan dengan cetakan yang sempurna. Yang dimaksud dengan minyak dari pohon yang diberkati yang menyalakan pelita wahyu adalah daya penalaran yang cemerlang beserta sifat-sifat akhlak yang luhur dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. dan akhlak beliau ini dihidupi oleh sumber mata air daya nalar beliau yang jernih. Yang dimaksud dengan pelita wahyu tersebut dinyalakan oleh akhlak luhur Hadzrat Rasulullah s.a.w. adalah rahmat wahyu turun atas akhlak beliau tersebut dan akhlak itu juga yang menjadi penyebab dari turunnya wahyu.

Dalam hal ini juga terdapat indikasi bahwa rahmat berupa wahyu tersebut sejalan dengan fitrat daripada Hadzrat Rasulullah s.a.w. dengan pengertian bahwa wahyu turun sejalan dengan fitrat seorang Nabi kepada siapa wahyu itu akan diturunkan. Sebagai contoh, temperamen daripada Nabi Musa a.s. menggambarkan keagungan dan kemurkaan, sehingga karenanya Kitab Taurat diwahyukan dalam kerangka sebagai kaidah-kaidah kemegahan kekuasaan. Adapun Nabi Isa a.s. memiliki temperamen yang rendah hati dan lemah lembut dan karenanya Kitab Injil mengajarkan kerendahan hati dan kelembutan. Adapun temperamen Nabi Suci s.a.w. adalah mantap dalam keadaan yang paling sulit sekali pun. Sifat beliau tidak selalu lemah lembut dalam segala situasi, tidak juga murka setiap saat, melainkan merupakan perpaduan yang bijak yang muncul menurut tuntutan situasi pada setiap saat. Karena itulah maka Kitab Al-Qur’an diwahyukan dalam acuan yang tepat dan moderat yang menggabungkan ketegasan dengan kelembutan, keterpesonaan dengan kasih sayang, serta kekerasan dengan kelembutan. Dalam ayat tersebut Allah s.w.t. telah mengungkapkan bahwa pelita wahyu Al-Qur’an itu dinyalakan dari minyak sebuah pohon yang diberkati yang tidak berasal dari timur atau pun barat, melainkan sejalan dengan temperamen moderat dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. dimana sifat beliau tidak segalak temperamen Nabi Musa a.s. dan tidak juga selembut temperamen Nabi Isa a.s. melainkan merupakan gabungan dari kekerasan dengan kelembutan, kemarahan dengan kasih sayang dimana semuanya merupakan temperamen yang moderat sebagai kombinasi dari keagungan dengan keindahan.
Keluhuran akhlak Hadzrat Rasulullah s.a.w. diungkapkan dalam ayat lain dalam Kitab Al-Qur’an yaitu:

“Sesungguhnya engkau benar-benar memiliki akhlak luhur”. (S.68 Al-Qalam:5).
Berarti Hadzrat Rasulullah s.a.w. diciptakan sedemikian sempurna dengan akhlak luhur yang tidak mungkin diungguli oleh orang lain. Kata “azhiim”. yang digunakan dalam ayat8 ini menggambarkan istilah bahasa Arab yang mengandung arti kesempurnaan tertinggi dari suatu spesi makhluk. Sebagai contoh, kalau dikatakan sebuah pohon itu “azhiim”. maka yang dimaksud adalah pohon itu memiliki panjang dan lebar terbaik yang bisa dimiliki sebuah pohon. Beberapa ahli leksikon menyatakan bahwa kata “azhiim”. menggambarkan kebesaran yang berada di luar nalar manusia.
Adapun kata “khuluq”. sebagaimana digunakan dalam Al-Qur’an atau pun kitab-kitab bijak lainnya, tidak saja berarti perilaku yang baik, kasih dan kelembutan semata. “Khalaq”. dan “khuluq”. adalah dua kata yang berbeda yang digunakan berkaitan satu dengan lain. Sifat “khalaq”. adalah ciri-ciri yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk membedakannya dari hewan lainnya. Adapun “khuluq”. menyangkut sifat-sifat kebaikan internal yang secara nyata membedakan kemanusiaan dari realitas hewan. Jadi segala sifat batin yang membedakan manusia dari hewan terangkum di dalam kata “khuluq”. tersebut. Sebagaimana kerangka fitrat manusia didasarkan pada sifat moderat dan bebas dari kelebihan atau kekurangan sebagaimana yang terdapat dalam fitrat hewan, maka kata “khuluq”. jika tidak diikuti kualifikasi yang merendahkan, selalu berarti fitrat akhlak yang mulia sebagaimana difirmankan:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik penciptaan”. (S.95 At-Tin:5)9.
Akhlak mulia tersebut merangkum semua sifat-sifat batin yang ada pada diri manusia seperti logika yang jernih, pemahaman yang baik, ingatan yang bagus, kesucian, kesopanan, keteguhan, kepuasan, kesalehan, tekad yang kuat, ketekunan, keadilan, kepercayaan, kedermawanan yang sesuai, pengorbanan pada saat yang benar, pengasih, penyayang, keberanian, kelembutan sewajarnya, kemarahan pada saat yang tepat, kehormatan, belas kasih, ketakutan pada saat yang benar, cinta yang sewajarnya, kecintaan kepada Allah dan menarik diri ke arah Tuhan serta lain-lainnya.
Minyak itu hampir-hampir bercahaya walau api tidak menyentuhnya mengandung arti bahwa penalaran dan akhlak mulia dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. itu demikian sempurna, pantas, halus dan cemerlang sehingga semuanya itu siap menyala bahkan sebelum turunnya wahyu. Dengan pengertian Nur di atas Nur yang dimaksud adalah banyak sekali Nur yang terangkum dalam wujud Nabi Suci s.a.w. dan di atas Nur itu telah turun Nur samawi berupa wahyu Ilahi sehingga wujud dari Hadzrat Rasulullah s.a.w. menjadi gabungan dari semua Nur. (Barahin Ahmadiyah, sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 1, hal. 191-195, London, 1984).

Esensi Ajaran Islam© 2014. All Rights Reserved. Template By Seocips.com
SEOCIPS Areasatu Adasenze Tempate Published By K15-Creative TeamKaizen Template