Tindakan wujud Penguasa (Malik) tidak mungkin diukur dengan tolok ukur keadilan. Kalau kita memiliki sesuatu dan kita memberikan sebagian daripadanya kepada seseorang yang memohonnya maka tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk mengeluhkan bahwa orang lain ternyata diberi lebih dibanding dirinya sendiri. Begitu juga dengan seorang makhluk, karena ia tidak mempunyai hak terhadap Allah yang Maha Kuasa untuk menuntut keadilan. Seorang hamba tidak mungkin menuntut keadilan sebagaimana juga Tuhan tidak akan mengakui hak dari makhluk-Nya untuk menuntut keadilan. Apa pun yang dikaruniakan Tuhan kepada makhluk-Nya sebagai imbalan dari kinerjanya adalah semata-mata karunia-Nya.
Tindakan itu tidak memiliki arti dengan sendirinya karena tidak ada amalan yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan dan rahmat Allah s.w.t. Jika kita renungi hukum Tuhan maka akan menjadi jelas bahwa apa pun yang diberikan oleh Allah s.w.t. bagi makhluk-Nya adalah rahmat dalam dua bentuk.
Pertama adalah rahmat yang sudah ada sebelum manusia mewujud dimana tindakan atau amalan manusia sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal itu. Dia telah menciptakan bagi kemaslahatan manusia benda-benda seperti matahari, bulan, bintang-bintang, bumi, air, udara, api dan lain-lain dan tidak ada yang meragukan bahwa semua ini sudah ada sebelum amalan atau manusianya muncul di muka bumi. Semua itu merupakan rahmat Ilahi yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai sifat Rahmaniyat. Dengan kata lain, karunia seperti itu diberikan bukan sebagai imbalan dari amalan manusia tetapi semata-mata merupakan rahmat yang murni.
Bentuk kedua dari rahmat dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai sifat Rahimiyat. Yang dimaksud adalah karunia yang diberikan Allah s.w.t. kepada manusia sebagai imbalan dari kesalehan amalannya. Bisakah kita membayang¬kan bahwa Tuhan yang telah memperlihatkan kemurahan melalui sifat Malikiyat-Nya ketika mencipta langit dan bumi, matahari dan bulan dan lain sebagainya ketika belum ada jejak dan amalan dari makhluk-Nya lalu menjadi seperti yang berhutang kepada makhluk-Nya dan hanya memberi ganjaran sebesar hak mereka saja dan tidak bisa memberi lebih? Apakah para makhluk-Nya itu memiliki hak atas Wujud-Nya agar Dia menciptakan langit dan bumi ini bagi mereka beserta beribu benda langit yang bercahaya dan berjuta benda di dunia yang tersedia bagi keselesaan dan kemudahan hidup mereka? Untuk menyatakan bahwa Wujud sang Penganugrah hanya semata-mata sebagai pembagi keadilan laiknya hakim serta menyangkal status dan keagungan-Nya sebagai Malik sama saja dengan tidak tahu bersyukur sama sekali. (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 26-28, London, 1984).
* * *
Perlu selalu diingat bahwa Malik (Penguasa) adalah suatu kata yang tidak mengandung pengertian adanya suatu hak atas Wujud-Nya dan ekspresi ini hanya bisa diterapkan secara sempurna bagi Tuhan saja karena hanya Dia itulah Penguasa yang Maha Sempurna. Seseorang yang telah menerimakan wujud lain sebagai penguasa atas hidupnya akan mengakui bahwa ia tidak lagi mempunyai hak atas jiwa dan raganya dan ia merasa tidak memiliki apa pun karena semuanya adalah milik sang penguasa. Dalam keadaan demikian maka tidak mungkin baginya untuk menuntut kepada Penguasa-nya bahwa ia harus memperoleh keadilan menurut harapannya sendiri karena hal seperti itu menggambarkan bahwa ia memiliki hak untuk menuntut padahal ia telah melepaskan semua hak demikian. Demikian itulah status orang yang dekat kepada Allah s.w.t. dimana ia menerimakan statusnya sebagai hamba dan mengikrarkan:
“Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. (S.2 Al-Baqarah: 157).
Dengan kata lain, semua harta benda, nyawa, raga dan keturunannya adalah milik Allah s.w.t. dan setelah ikrar demikian ia tidak lagi mempunyai hak yang bisa dituntutnya dari Tuhan. Karena itulah mereka yang diberkati dengan pemahaman yang benar dengan mengesampingkan amalan, ibadah dan sedekah yang telah mereka lakukan, menyerahkan diri sepenuhnya kepada rahmat Allah yang Maha Kuasa dan tidak menetapkan nilai apa pun atas amalan mereka dan tidak mengajukan tuntutan bahwa mereka mempunyai suatu hak. Sesungguh¬nya Tuhan itu adalah Dia yang melalui Wujud-Nya telah memberikan kekuatan kepada manusia untuk melakukan sesuatu yang baik dan Dia itu adalah Allah s.w.t. Tidak ada seseorang pun yang bisa menuntut keadilan dari Allah yang Maha Kuasa dengan mendasarkannya pada kemampuan atau amalan dirinya. Sejalan dengan Al-Qur’an, apa pun yang telah dilakukan oleh Tuhan adalah dalam fungsi-Nya sebagai Malik. Sebagaimana Dia menghukum mereka yang bersalah, begitu pula Dia mengampuni dosa. Dia berkuasa melakukan keduanya sejalan dengan sifat Malikiyat-Nya. Kalau Dia hanya menghukum dosa saja maka tidak akan ada kelepasan bagi manusia. Allah s.w.t. mengampuni sebagian besar dosa-dosa dan menghukum beberapa orang saja agar siapa yang lalai mendapat peringatan untuk kembali kepada-Nya. Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an:
“Musibah apa juapun yang menimpamu adalah akibat apa yang telah diusahakan oleh tanganmu sendiri. Dan Dia memaafkan banyak dosa-dosamu”. (S.42 Asy-Sura:31).
Dalam Surah yang sama terdapat ayat:
“Dia-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan dosa-dosa”. (S.42 Asy-Sura:26).
Namun jangan ada pula orang yang melupakan bahwa Kitab Suci Al-Qur’an juga mengandung ayat:
“Barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarah sekali pun niscaya ia akan menyaksikannya pula”. (S.99 Al-Zilzal:9).
Dalam hal ini tidak ada kontradiksi karena yang dimaksud adalah keburukan yang terus saja dilakukan manusia dan ia tidak juga bertobat. Al-Qur’an berulangkali menegas¬kan bahwa penyesalan dan pertobatan serta meninggalkan dosa dan memohon pengampunan akan memperoleh pengampunan dosa-dosa. Sesungguhnya Allah s.w.t. mencintai mereka yang bertobat sebagaimana dikemukakan dalam ayat:
“Sesungguhnya Allah mencintai mereka yang suka bertobat dan Dia mencintai pula mereka yang menyucikan diri lahir dan batin”. (S.2 Al-Baqarah:223).
Berarti Allah s.w.t. mencintai mereka yang bertobat dan mengasihi mereka yang berjuang untuk menyucikan diri mereka dari dosa. Singkat kata, semata-mata menghukum dosa saja adalah bertentangan dengan sifat pengampun dan pemaaf dari Allah yang Maha Kuasa karena Dia itu adalah Penguasa (Malik) dan bukan semata-mata hanya sebagai hakim. Dia menyebut Diri-Nya sebagai Malik dalam Surah pertama Al-Qur’an dimana dikatakan bahwa Dia adalah Maliki Yaumiddin yaitu bahwa Dia adalah Penguasa dari penghukuman dan pengganjaran. Jelas bahwa tidak ada yang bisa disebut sebagai Penguasa kecuali ia memiliki kedua kekuasaan tersebut, yaitu menghukum kapan ia mau dan mengampuni bilamana ia menyukai. (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 23-24, London, 1984).
* * *
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut kaum Arya, dewa Permeshwar14 mereka tidak bisa dianggap sebagai Al-Malik karena yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan untuk mengaruniakan apa yang jadi miliknya semata-mata sebagai rahmat atau berkat saja tanpa ada hak dari si penerima. Sebagai pemilik semua kekayaan, seharusnya yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk memberikan sebagian daripadanya kepada siapa pun yang dipilihnya, namun kaum Arya meyakini bahwa dewa Permeshwar tidak bisa mengampuni dosa-dosa, tidak juga ia bisa mengaruniakan apa pun kepada siapa pun sebagai berkat atau karunia karena dengan berbuat demikian maka yang bersangkutan dianggap telah berlaku tidak adil.
Mereka yang meyakini transmigrasi jiwa (reinkarnasi) tidak bisa mengimani bahwa Permeshwar adalah Malik dari segala ciptaan. Kami telah berulangkali menegaskan bahwa tidak patut membatasi sang Penguasa agar bertindak hanya sesuai asas-asas keadilan. Kami beriman bahwa Dia yang menjadi Al-Malik itu bersifat Rahim, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan mengampuni dosa-dosa, namun kami tidak akan mengatakan bahwa Dia itu mematuhi asas keadilan berkaitan dengan para hamba dan makhluk-Nya karena wacana keadilan hanya bisa berlaku dalam hal adanya suatu bentuk kemerdekaan pada kedua pihak. Sebagai contoh, mengenai seorang raja di bumi kita bisa mengatakan bahwa ia seorang yang lurus dan memperlakukan rakyatnya dengan adil, sepanjang rakyatnya itu patuh kepadanya maka asas keadilan mengharuskan kepada mereka bahwa sebagai imbalan kepatuhan mereka kepada raja (antara lain dalam membayar pajak) maka raja berkewajiban memelihara hidup dan harta benda mereka serta menolong mereka di masa sulit dengan kekayaan milik kerajaan. Dengan demikian dari satu sisi, kerajaan memaksakan titah mereka kepada rakyat dan dari pihak lain adalah rakyat yang memaksakan keinginan mereka atas rajanya. Sepanjang aspek-aspek ini bisa bekerja sama maka negeri itu akan aman sejahtera, tetapi begitu salah satu pihak mengingkarinya maka negeri tersebut tidak akan aman lagi. Karena itulah kita tidak bisa menyebut seorang raja sebagai benar-benar bersifat Al-Malik karena sebagai raja ia masih ada kewajiban berlaku adil kepada rakyatnya dan mereka harus berlaku sama kepadanya.
Berkaitan dengan Allah yang Maha Kuasa, kita bisa menyebut-Nya sebagai bersifat Rahim karena sifat Malikiyat-Nya, namun kita tidak bisa menyebut Wujud-Nya sebagai adil. Siapa pun yang menjadi milik dari orang lain tidak bisa menuntut keadilan dari sang pemilik, paling-paling ia hanya bisa memohon belas kasihan. Karena itulah Kitab Suci Al-Qur’an tidak menyebut Allah yang Maha Perkasa sebagai yang Adil, karena keadilan menuntut adanya kesamaan yang setara. Allah yang Maha Kuasa dikatakan adil hanya dalam pengertian bahwa Dia memperlakukan secara adil di antara sesama makhluk yang berkaitan dengan hak-hak mereka atas satu sama lain, namun Dia tidak dikatakan adil dalam pengertian bahwa makhluk-Nya bisa menuntut hak atas Wujud-Nya dalam suatu kesetaraan.
Semua makhluk merupakan milik dari Allah s.w.t. dan Dia mempunyai wewenang penuh untuk memperlakukan mereka menurut suka-Nya. Dia bisa saja memberikan kerajaan kepada mereka yang diinginkan-Nya atau membuat mereka sebagai gembel gelandangan. Dia berkuasa mematikan seseorang di usia muda atau memberikan usia panjang kepadanya. Kita sendiri jika memiliki sesuatu maka kita bebas memberikannya kepada siapa pun yang kita suka. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih karena sifat Rahmat-Nya dan bukan karena pertimbangan keadilan. Dia itu memelihara kehidupan ciptaan-Nya. Sebagaimana telah berulangkali kami tegaskan, sifat Malikiyat dan sifat keadilan tidak konsisten satu dengan lainnya. Karena kita ini merupakan ciptaan-Nya maka kita tidak berhak menuntut keadilan daripada-Nya. Sepatutnya kita memohon rahmat-Nya dengan khusuk dan merendahkan diri.
Adalah tidak patut sama sekali bagi seorang makhluk untuk menuntut keadilan dari Allah yang Maha Kuasa dalam perlakuan-Nya terhadap dirinya. Karena semua hal yang berkaitan dengan fitrat manusia itu berasal dari Allah s.w.t. dan semua kemampuan manusia, baik ruhaniah atau jasmaniah, merupakan karunia daripadanya dimana amalan baik pun bisa dilaksanakan hanya karena bantuan dan kekuatan yang diberikan oleh-Nya, maka benar-benar bodoh untuk menuntut keadilan kepada-Nya dengan mendasarkan pada amalan baik yang telah dilakukan manusia tersebut. Kami tidak akan menganggapnya sebagai ajaran yang didasarkan pada pengetahuan yang benar. Bahkan ajaran demikian itu kalis dari penalaran murni dan penuh dengan kekeliruan. Allah yang Maha Kuasa telah mengajarkan kepada kita di dalam Al-Qur’an bahwa mengundang Allah s.w.t. berhadapan langsung dengan makhluk-Nya tidak saja merupakan suatu dosa, tetapi juga merupakan pengingkaran Tuhan.
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 32-34, London, 1984).
* * *
Tindakan itu tidak memiliki arti dengan sendirinya karena tidak ada amalan yang bisa dilaksanakan tanpa bantuan dan rahmat Allah s.w.t. Jika kita renungi hukum Tuhan maka akan menjadi jelas bahwa apa pun yang diberikan oleh Allah s.w.t. bagi makhluk-Nya adalah rahmat dalam dua bentuk.
Pertama adalah rahmat yang sudah ada sebelum manusia mewujud dimana tindakan atau amalan manusia sama sekali tidak ada kaitannya dengan hal itu. Dia telah menciptakan bagi kemaslahatan manusia benda-benda seperti matahari, bulan, bintang-bintang, bumi, air, udara, api dan lain-lain dan tidak ada yang meragukan bahwa semua ini sudah ada sebelum amalan atau manusianya muncul di muka bumi. Semua itu merupakan rahmat Ilahi yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai sifat Rahmaniyat. Dengan kata lain, karunia seperti itu diberikan bukan sebagai imbalan dari amalan manusia tetapi semata-mata merupakan rahmat yang murni.
Bentuk kedua dari rahmat dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai sifat Rahimiyat. Yang dimaksud adalah karunia yang diberikan Allah s.w.t. kepada manusia sebagai imbalan dari kesalehan amalannya. Bisakah kita membayang¬kan bahwa Tuhan yang telah memperlihatkan kemurahan melalui sifat Malikiyat-Nya ketika mencipta langit dan bumi, matahari dan bulan dan lain sebagainya ketika belum ada jejak dan amalan dari makhluk-Nya lalu menjadi seperti yang berhutang kepada makhluk-Nya dan hanya memberi ganjaran sebesar hak mereka saja dan tidak bisa memberi lebih? Apakah para makhluk-Nya itu memiliki hak atas Wujud-Nya agar Dia menciptakan langit dan bumi ini bagi mereka beserta beribu benda langit yang bercahaya dan berjuta benda di dunia yang tersedia bagi keselesaan dan kemudahan hidup mereka? Untuk menyatakan bahwa Wujud sang Penganugrah hanya semata-mata sebagai pembagi keadilan laiknya hakim serta menyangkal status dan keagungan-Nya sebagai Malik sama saja dengan tidak tahu bersyukur sama sekali. (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 26-28, London, 1984).
* * *
Perlu selalu diingat bahwa Malik (Penguasa) adalah suatu kata yang tidak mengandung pengertian adanya suatu hak atas Wujud-Nya dan ekspresi ini hanya bisa diterapkan secara sempurna bagi Tuhan saja karena hanya Dia itulah Penguasa yang Maha Sempurna. Seseorang yang telah menerimakan wujud lain sebagai penguasa atas hidupnya akan mengakui bahwa ia tidak lagi mempunyai hak atas jiwa dan raganya dan ia merasa tidak memiliki apa pun karena semuanya adalah milik sang penguasa. Dalam keadaan demikian maka tidak mungkin baginya untuk menuntut kepada Penguasa-nya bahwa ia harus memperoleh keadilan menurut harapannya sendiri karena hal seperti itu menggambarkan bahwa ia memiliki hak untuk menuntut padahal ia telah melepaskan semua hak demikian. Demikian itulah status orang yang dekat kepada Allah s.w.t. dimana ia menerimakan statusnya sebagai hamba dan mengikrarkan:
“Sesungguhnya kami kepunyaan Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami akan kembali. (S.2 Al-Baqarah: 157).
Dengan kata lain, semua harta benda, nyawa, raga dan keturunannya adalah milik Allah s.w.t. dan setelah ikrar demikian ia tidak lagi mempunyai hak yang bisa dituntutnya dari Tuhan. Karena itulah mereka yang diberkati dengan pemahaman yang benar dengan mengesampingkan amalan, ibadah dan sedekah yang telah mereka lakukan, menyerahkan diri sepenuhnya kepada rahmat Allah yang Maha Kuasa dan tidak menetapkan nilai apa pun atas amalan mereka dan tidak mengajukan tuntutan bahwa mereka mempunyai suatu hak. Sesungguh¬nya Tuhan itu adalah Dia yang melalui Wujud-Nya telah memberikan kekuatan kepada manusia untuk melakukan sesuatu yang baik dan Dia itu adalah Allah s.w.t. Tidak ada seseorang pun yang bisa menuntut keadilan dari Allah yang Maha Kuasa dengan mendasarkannya pada kemampuan atau amalan dirinya. Sejalan dengan Al-Qur’an, apa pun yang telah dilakukan oleh Tuhan adalah dalam fungsi-Nya sebagai Malik. Sebagaimana Dia menghukum mereka yang bersalah, begitu pula Dia mengampuni dosa. Dia berkuasa melakukan keduanya sejalan dengan sifat Malikiyat-Nya. Kalau Dia hanya menghukum dosa saja maka tidak akan ada kelepasan bagi manusia. Allah s.w.t. mengampuni sebagian besar dosa-dosa dan menghukum beberapa orang saja agar siapa yang lalai mendapat peringatan untuk kembali kepada-Nya. Sebagaimana diungkapkan dalam Al-Qur’an:
“Musibah apa juapun yang menimpamu adalah akibat apa yang telah diusahakan oleh tanganmu sendiri. Dan Dia memaafkan banyak dosa-dosamu”. (S.42 Asy-Sura:31).
Dalam Surah yang sama terdapat ayat:
“Dia-lah yang menerima tobat dari hamba-hamba-Nya dan memaafkan dosa-dosa”. (S.42 Asy-Sura:26).
Namun jangan ada pula orang yang melupakan bahwa Kitab Suci Al-Qur’an juga mengandung ayat:
“Barangsiapa berbuat kejahatan seberat zarah sekali pun niscaya ia akan menyaksikannya pula”. (S.99 Al-Zilzal:9).
Dalam hal ini tidak ada kontradiksi karena yang dimaksud adalah keburukan yang terus saja dilakukan manusia dan ia tidak juga bertobat. Al-Qur’an berulangkali menegas¬kan bahwa penyesalan dan pertobatan serta meninggalkan dosa dan memohon pengampunan akan memperoleh pengampunan dosa-dosa. Sesungguhnya Allah s.w.t. mencintai mereka yang bertobat sebagaimana dikemukakan dalam ayat:
“Sesungguhnya Allah mencintai mereka yang suka bertobat dan Dia mencintai pula mereka yang menyucikan diri lahir dan batin”. (S.2 Al-Baqarah:223).
Berarti Allah s.w.t. mencintai mereka yang bertobat dan mengasihi mereka yang berjuang untuk menyucikan diri mereka dari dosa. Singkat kata, semata-mata menghukum dosa saja adalah bertentangan dengan sifat pengampun dan pemaaf dari Allah yang Maha Kuasa karena Dia itu adalah Penguasa (Malik) dan bukan semata-mata hanya sebagai hakim. Dia menyebut Diri-Nya sebagai Malik dalam Surah pertama Al-Qur’an dimana dikatakan bahwa Dia adalah Maliki Yaumiddin yaitu bahwa Dia adalah Penguasa dari penghukuman dan pengganjaran. Jelas bahwa tidak ada yang bisa disebut sebagai Penguasa kecuali ia memiliki kedua kekuasaan tersebut, yaitu menghukum kapan ia mau dan mengampuni bilamana ia menyukai. (Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 23-24, London, 1984).
* * *
Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dianut kaum Arya, dewa Permeshwar14 mereka tidak bisa dianggap sebagai Al-Malik karena yang bersangkutan tidak memiliki kekuasaan untuk mengaruniakan apa yang jadi miliknya semata-mata sebagai rahmat atau berkat saja tanpa ada hak dari si penerima. Sebagai pemilik semua kekayaan, seharusnya yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk memberikan sebagian daripadanya kepada siapa pun yang dipilihnya, namun kaum Arya meyakini bahwa dewa Permeshwar tidak bisa mengampuni dosa-dosa, tidak juga ia bisa mengaruniakan apa pun kepada siapa pun sebagai berkat atau karunia karena dengan berbuat demikian maka yang bersangkutan dianggap telah berlaku tidak adil.
Mereka yang meyakini transmigrasi jiwa (reinkarnasi) tidak bisa mengimani bahwa Permeshwar adalah Malik dari segala ciptaan. Kami telah berulangkali menegaskan bahwa tidak patut membatasi sang Penguasa agar bertindak hanya sesuai asas-asas keadilan. Kami beriman bahwa Dia yang menjadi Al-Malik itu bersifat Rahim, Maha Pengasih, Maha Penyayang dan mengampuni dosa-dosa, namun kami tidak akan mengatakan bahwa Dia itu mematuhi asas keadilan berkaitan dengan para hamba dan makhluk-Nya karena wacana keadilan hanya bisa berlaku dalam hal adanya suatu bentuk kemerdekaan pada kedua pihak. Sebagai contoh, mengenai seorang raja di bumi kita bisa mengatakan bahwa ia seorang yang lurus dan memperlakukan rakyatnya dengan adil, sepanjang rakyatnya itu patuh kepadanya maka asas keadilan mengharuskan kepada mereka bahwa sebagai imbalan kepatuhan mereka kepada raja (antara lain dalam membayar pajak) maka raja berkewajiban memelihara hidup dan harta benda mereka serta menolong mereka di masa sulit dengan kekayaan milik kerajaan. Dengan demikian dari satu sisi, kerajaan memaksakan titah mereka kepada rakyat dan dari pihak lain adalah rakyat yang memaksakan keinginan mereka atas rajanya. Sepanjang aspek-aspek ini bisa bekerja sama maka negeri itu akan aman sejahtera, tetapi begitu salah satu pihak mengingkarinya maka negeri tersebut tidak akan aman lagi. Karena itulah kita tidak bisa menyebut seorang raja sebagai benar-benar bersifat Al-Malik karena sebagai raja ia masih ada kewajiban berlaku adil kepada rakyatnya dan mereka harus berlaku sama kepadanya.
Berkaitan dengan Allah yang Maha Kuasa, kita bisa menyebut-Nya sebagai bersifat Rahim karena sifat Malikiyat-Nya, namun kita tidak bisa menyebut Wujud-Nya sebagai adil. Siapa pun yang menjadi milik dari orang lain tidak bisa menuntut keadilan dari sang pemilik, paling-paling ia hanya bisa memohon belas kasihan. Karena itulah Kitab Suci Al-Qur’an tidak menyebut Allah yang Maha Perkasa sebagai yang Adil, karena keadilan menuntut adanya kesamaan yang setara. Allah yang Maha Kuasa dikatakan adil hanya dalam pengertian bahwa Dia memperlakukan secara adil di antara sesama makhluk yang berkaitan dengan hak-hak mereka atas satu sama lain, namun Dia tidak dikatakan adil dalam pengertian bahwa makhluk-Nya bisa menuntut hak atas Wujud-Nya dalam suatu kesetaraan.
Semua makhluk merupakan milik dari Allah s.w.t. dan Dia mempunyai wewenang penuh untuk memperlakukan mereka menurut suka-Nya. Dia bisa saja memberikan kerajaan kepada mereka yang diinginkan-Nya atau membuat mereka sebagai gembel gelandangan. Dia berkuasa mematikan seseorang di usia muda atau memberikan usia panjang kepadanya. Kita sendiri jika memiliki sesuatu maka kita bebas memberikannya kepada siapa pun yang kita suka. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih karena sifat Rahmat-Nya dan bukan karena pertimbangan keadilan. Dia itu memelihara kehidupan ciptaan-Nya. Sebagaimana telah berulangkali kami tegaskan, sifat Malikiyat dan sifat keadilan tidak konsisten satu dengan lainnya. Karena kita ini merupakan ciptaan-Nya maka kita tidak berhak menuntut keadilan daripada-Nya. Sepatutnya kita memohon rahmat-Nya dengan khusuk dan merendahkan diri.
Adalah tidak patut sama sekali bagi seorang makhluk untuk menuntut keadilan dari Allah yang Maha Kuasa dalam perlakuan-Nya terhadap dirinya. Karena semua hal yang berkaitan dengan fitrat manusia itu berasal dari Allah s.w.t. dan semua kemampuan manusia, baik ruhaniah atau jasmaniah, merupakan karunia daripadanya dimana amalan baik pun bisa dilaksanakan hanya karena bantuan dan kekuatan yang diberikan oleh-Nya, maka benar-benar bodoh untuk menuntut keadilan kepada-Nya dengan mendasarkan pada amalan baik yang telah dilakukan manusia tersebut. Kami tidak akan menganggapnya sebagai ajaran yang didasarkan pada pengetahuan yang benar. Bahkan ajaran demikian itu kalis dari penalaran murni dan penuh dengan kekeliruan. Allah yang Maha Kuasa telah mengajarkan kepada kita di dalam Al-Qur’an bahwa mengundang Allah s.w.t. berhadapan langsung dengan makhluk-Nya tidak saja merupakan suatu dosa, tetapi juga merupakan pengingkaran Tuhan.
(Chasma Marifat, Qadian, Anwar Ahmadiyyah Press, 1908; sekarang dicetak dalam Ruhani Khazain, vol. 23, hal. 32-34, London, 1984).
* * *