Pertama, menurut semua ukuran biasa para pendiri agama-agama adalah orang-orang yang serba lemah keadaannya. Mereka tak punya kekuasaan atau wibawa. Namun demikian, mereka mengalamatkan perkataan mereka baik kepada orang-orang besar maupun kepada orang-orang kecil dan pada waktu yang tepat mereka dan para pengikut mereka naik dari kedudukan yang rendah kepada yang tinggi di dunia. Ini menunjukkan bahwa mereka ditunjang dan dibantu oleh suatu Kekuasaan yang besar.
Kedua, semua pendiri agama-agama adalah pribadi-pribadi yang sangat dihormati dan dimuliakan karena kebersihan hidup mereka, bahkan dimuliakan oleh orang-orang yang kemudian - setelah mereka mengumandangkan pangakuan mereka – menjadi lawan mereka. Tidaklah masuk akal bahwa orang-orang yang tidak pernah berdusta tentang manusia, tiba-tiba mulai berdusta tentang Tuhan. Pengakuan umum tentang keberhasilan hidup mereka sebelum pengumuman pendakwaan mereka adalah bukti kebenaran pendakwaan-pendakwaan itu. Al-Qur’an menekankan hal ini :
“Maka sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu sepanjang umur sebelum ini. Tidakkah kamu mempergunakan akal?”(10:17)
Ayat-ayat ini menampilkan Nabi Muhammad saw. seakan-akan berkata kepada pemeluknya, “Aku lama tinggal bersama kamu sebagai seorang di antara kamu. Kamu mempunyai kesempatan untuk memperhatikan aku dari dekat sekali; kamu sudah menyaksikan ketulusan hatiku. Namun, mengapa kamu berani mengatakan bahwa aku hari ini tiba-tiba mulai berdusta tentang Tuhan?”
Demikian pula Al-Qur’an berkata :
“Sesungguhnya, Allah telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika mengutus kepada mereka seorang rasul dari antara mereka”(3:165)
Hal ini juga ditegaskan dalam ayat :
“Hai, orang-orang yang beriman, sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari antaramu sendiri”(9:128).
Yakni, “seorang rasul untuk kamu, yang adalah salah seorang dari antara kamu, bukan seorang yang tidak kamu kenal, melainkan seorang yang kamu kenal baik dan yang tentang kebersihan wataknya kamu telah menyaksikannya sendiri.”
Bahkan tentang nabi-nabi lain selain nabi Muhammad saw., Al-Qur’an memberikan pernyataan demikian. Mereka dibangkitkan dari antara kaum mereka sendiri. Tak dapat dikatakan tentang nabi-nabi itu bahwa orang-orang yang mula-mula mereka panggil untuk mengikuti ajaran mereka, tidak cukup mengenal mereka. Ketika penghuni-penghuni neraka dilontarkan ke dalam neraka, Tuhan akan menyesali mereka dengan kata-kata:
“Bukankah telah datang kepadamu rasul-rasul dari antara kamu sendiri membacakan kepadamu tanda-tanda dari Tuhan-mu dan memberi peringatan kepadamu tentang pertemuan pada harimu ini?”(39:72).
Dan :
“Hai, golongan jin dan manusia, tidakkah telah datang kepadamu rasul-rasul dari antaramu yang menceritakan kepadamu tanda-tanda-Ku dan memperingatkan kamu mengenai pertemuan pada harimu ini?”(6:131)
Di tempat lain kita baca :
“Dan Kami kirimkan ke tengah-tengah mereka seorang rasul dari antara mereka sendiri, dengan amanat, sembahlah Allah. Tiada bagimu tuhan selain Dia”(23:33).
Lagi :
“Dan ingatlah hari itu akan Kami bangkitkan dari setiap ummat seorang saksi”(16:85).
Kata “saksi” yang dipakai di sini berarti seorang nabi yang dibangkitkan untuk suatu kaum. Pada hari peradilan, nabi-nabi itu akan menunjuk diri mereka sendiri sebagai bukti yang nyata tentang apa-apa yang mereka capai oleh sebab menerima wahyu dari Allah Taala. Tuhan akan memberi malu terhadap orang-orang yang tak percaya dengan berkata : “Lihatlah apa yang telah dicapai oleh nabi-Ku dan kemana keingkaranmu telah membawa kamu”. Kepada kita dikatakan bahwa semua nabi dibangkitkan dari antara kaum mereka sendiri. Keadaan-keadaan tempat seseorang nabi dibangkitkan dan reaksi setiap nabi terhadap keadaan-keadaan itu diketahui benar oleh setiap orang dari bangsa itu. Maka itu, setiap bangsa itu menjadi saksi atas kesalehan dan kesucian nabinya. Disamping itu kita dapati juga dalamAl-Qur’an ayat-ayat seperti ini:
“Dan, kepada “Ad Kami utus saudara mereka, Hud” (7:66)
“Dan, kepada Tsamud Kami utus saudara mereka, Saleh” (7:74)
“Dan Kami utus pula kepada Midian saudara mereka, Syu’aib” (7:86)
Ayat-ayat ini berarti bahwa Hud, Saleh dan Syu’aib a.s. berhubungan erat sekali dengan bangsa mereka masing-masing sehingga bangsa-bangsa itu dapat dikatakan mengetahui segala-galanya tentang mereka itu. Tentang Saleh a.s. kita baca bahwa ketika beliau mengumumkan diri sebagai nabi untuk bangsanya, kepada beliau dikatakan :
“Hai Saleh, sesungguhnya engkau adalah seorang di antara kami sebelum ini tempat kami menaruh harapan. Apakah engkau melarang kami menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami?”(11:63)
Begitu pula kaum Syu’aib berkata kepada Syu’aib a.s. :
“Hai Syu’aib, apakah sembahyangmu menyuruh engkau supaya kami meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kami ataupun melarang kami berbuat apa yang kami sukai berkenaan dengan harta kami? Engkau sesungguhnya menganggap dirimu seorang yang sangat cerdas dan berpikir lurus”.(11:88)
Dari kalimat-kalimat ini jelaslah bahwa, menurut Al-Qur’an, nabi Muhammad saw. sendiri dan Hud, Saleh, Syu’aib serta nabi-nabi lainnya bukanlah orang-orang asing yang sedikit sekali diketahui oleh kaum mereka masing-masing. Kaum mereka tahu benar akan macam apa kehidupan yang dijalani oleh guru-guru mereka dan tahu benar bahwa mereka adalah orang-orang yang tulus, mutaki dan saleh. Seorang pun dari antara mereka tak dapat dikatakan pahlawan kesiangan yang tak dikenal dan mempunyai maksud-maksud tertentu terhadap kaumnya sendiri.
Ketiga, pendiri-pendiri agama tidaklah memiliki daya dan kemampuan-kemampuan yang biasanya diperlukan untuk menjadi pemimpin yang berhasil. Mereka sedikit atau sama sekali tidak mengetahui kesenian-kesenian atau kebudayaan di masa mereka. Namun, apa yang diajarkan mereka ternyata merupakan sesuatu yang lebih maju dari masa mereka, sesuatu yang tepat dan sesuai dengan waktunya. Dengan menjalankan ajaran itu suatu kaum mencapai suatu peringkat tinggi dalam peradaban dan kebudayaan, dan berabad-abad lamanya memegang terus kejayaannya. Seorang Guru Jagat yang sejati membuat hal itu mungkin. Sebaliknya, tak dapat dimengerti bahwa seorang yang lugu dengan kesanggupan-kesanggupan yang biasa-biasa, segera setelah ia mulai berdusta tentang Tuhan, memperoleh kekuasaan yang demikian hebatnya sehingga ajarannya mengungguli ajaran lainnya yang terdapat pada masanya. Kemajuan semacam itu tak akan mungkin dicapai tanpa bantuan Tuhan Yang Mahakuasa.